Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Jalan Panjang Sesuap Nasi di Indonesia

11 Januari 2021   16:34 Diperbarui: 12 Januari 2021   14:11 760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat Poltak mengunyah sesuap nasi, pernahkah terpikir olehnya  seberapa panjang jalan yang harus ditempuh sesuap nasi itu?  Pertanyaan itu terkesan remeh. Tapi jawabannya akan membantu Poltak menghargai sesuap nasi.

Barangkali ada yang memberi jawaban standar. Ya, jalannya sepanjang rantai tataniaga. Sejak gabah dari lahan petani ke tengkulak, lalu ke penggilingan beras. Dari situ beras mengalir ke pedagang besar, lalu berlanjut ke pengecer. Dari situlah beras dibeli dan kemudian ditanak keluarga  Poltak.

Saya bilang, "Standar."  Mengapa? Karena itulah yang lazim diajarkan guru kepada murid sekolah. Atau, diingatkan orangtua kepada anak yang menyisakan nasi di piring. Atau, sekurangnya, begitulah yang tersiar lewat berita, bacaan dan tontonan.  

Untuk konteks Indonesia, sampai  tahun 1970 jawaban standar itu masih mengena. Sebab sampai saat itu benih padi masih dihasilkan petani sendiri. Caranya tradisional:  memilih malai dan bulir padi terbaik dari sawahnya. 

Tapi sejak 1971, saat benih padi unggul bersertifikat mulai diproduksi dan ditanam petani di bawah panji Revolusi Hijau, jawaban "standar" tadi tak lagi memadai. Karena smenjak itu benih padi sudah melibatkan peran lembaga riset, perusahaan produsen benih bersertifikat, dan pedagang benih padi.  Jalan yang harus dilalui sesuap nasi semakin panjang dan mahal. 

Saya akan coba babar jalan panjang itu, sekadar berbagi informasi. Ini demi menumbuhkan penghargaan selayaknya pada sesuap nasi.

***

Di awal 1970-an, demi mewujudkan swasembada beras, pemerintah  memobilisir petani untuk mengadopsi benih padi unggul bersertifikat. Program itu, bersama dengan irigasi, pupuk, pestisida, dan pola tanam dikenal sebagai intensifikasi padi. Atau, secara politis, disebut Revolusi Hijau.

Ada tiga aktor utama yang bertanggungjawab untuk produksi benih padi unggul waktu itu. Pertama, Badan Benih Nasional (BBN) yang menguji dan melepas benih unggul. Kedua, Balai Benih Padi yang menciptakan varietas unggul (bekerjasama dengan IRRI). Ketiga, Perum Sang Hyang Seri yang memproduksi dan memasarkan benih padi unggul.

Sekarang ada perubahan kelembagaan. Peran BBN diambil-alih PPVT (Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian).  Fungsi riset tak hanya dijalankan oleh BB Padi,  tapi juga oleh Perguruan Tinggi dan Perusahaan Benih Modern. 

Sedangkan fungsi produksi dan pemasaran benih padi unggul, selain dijalankan oleh BUMN (PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani), juga dijalankan sejumlah perusahaan swasta nasional dan lokal.

Jalan panjang sesuap nasi itu dimulai dari riset penciptaan varietas oleh BB Padi.  Metoda penciptaaan paling lazim adalah  persilangan dua tetua unggul.  Misalnya tetua padi pulen dan tetua padi produktivitas tinggi. 

Setelah lewat proses persilangan, seleksi, dan pengujian yang lama, selama 2-3 tahun, terciptalah satu varietas padi unggul. Varietas padi dengan rasa nasi pulen dan produktivitas tinggi, sesuai harapan.

Varietas itu kemudian akan diuji oleh BBN/PPVT, dalam satu sidang pelepasan varietas. Kalau lulus, varietas akan dilepas oleh Menteri Pertanian dengan sebuah Surat Keputusan. Artinya, varietas itu boleh dikomersilkan.

Begitulah proses lahirnya varietas-varietas padi unggul yang umum diadopsi petani kini. Semisal padi IR 64, Cisadane, Ciherang, Situbagendit, Mamberamo, dan Inpari. 

Proses penemuan dan pelepasan varietas padi unggul baru itu, secara jeseluruhab,  bisa makan waktu 3-4  tahun. Hasilnya adalah kelas Benih Penjenis (Breeder Seed/BS), benih indukan hasil kerja para pemulia (breeder).  Jumlahnya hanya beberapa sampai belasan kilogram. Kelas benih ini diberi Label Kuning.

Benih kelas BS ini, oleh BB Padi,  kemudian digandakan menjadi kelas Benih Dasar (Foundation Seed/FS).  Benih kelas FS itu harus disertifikasi secara ketat oleh Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB).  Jumlahnya bisa mencapai puluhan sampai ratusan kilogram.  Kelas benih ini diberi Label Putih.

Selanjutnya benih kelas FS akan ditangkarkan oleh BB Padi dan balai benih daerah. Atau oleh perusahaan perbenihan tertentu, misalnya PT Sang Hyang Seri. Hasilnya adalah kelas Benih Pokok (Stock Seed/SS) dengan Label Ungu.  Jumlahnya bisa mencapai puluhan ton.

Benih kelas SS ini kemudian harus ditangkarkan lagi untuk mendapatkan kelas Benih Sebar (Extension Seed/ES).  Kegiatan penangkarannya lazim dilakukan perusahaan benih, baik BUMN maupun swasta, di bawah pengawasan dan sertifikasi BPSB.  

Benih kelas ES, dengan Label Biru, itulah kelas benih bersertifikat yang didistribusikan atau dijual kepada petani. Jumlahnya kini mencapai sekitar 150,000 ton per tahun di seluruh Indonesia. Itu baru sekitar 50 persen dari kebutuhan nasional.

Total waktu yang diperlukan oleh BS untuk menjadi ES, jika prosesnya sudah mantap, paling cepat 4 musim tanam atau 2 tahun. Untuk menghasilkan BS, perlu waktu 3-4 tahun.  Jadi, secara keseluruhan, perlu waktu sekitar  5-6 tahun sebelum benih kelas ES sampai ke tangan petani.  

Petani kemudian menanam ES selama semusim (6 bulan).  Hasilnya dijual ke tengkulak, lalu ke penggilingan beras. Kemudian  ke pedagang besar beras dan pengecer lalu,  terakhir, konsumen rumahtangga.  Proses terakhir ini makan waktu sekitar 6 bulan juga.  Jadi, perlu waktu sedikitnya 1 tahun agar gabah petani tiba dalam bentuk beras di dapur keluarga Poltak.

Secara keseluruhan, dihitung sejak proses riset penciptaan varietas padi, perlu waktu sekitar 6-7 tahun sebelum Poltak dapat mengunyah sesuap nasi sambil matanya kerjap-kerjap nikmat. Poltak takjub karena, ternyata,  begitu banyak pihak yang telah mengorbankan begitu banyak pikiran, tenaga, biaya, dan waktu hanya demi mengantarkan sesuap nasi ke dalam mulutnya.

Poltak tiba pada kesadaran bahwa sesuap nasi itu ternyata sungguh mahal harganya.  Karena itu, dia tak hendak menyisakan nasi di piringnya, walau itu hanya sebutir.

***

Mungkin  ada yang bertanya, "Seberapa mahalkah biaya penciptaan satu varietas unggul padi?"  Sebagai gambaran saja, saya akan coba babar pengalaman pribadi, sebagai insan perbenihan di Indonesia.

Biaya penciptaan varietas di sini adalah total biaya yang dibelanjakan untuk menghasilkan satu varietas unggul padi yang lulus sidang pengujian dan dilepas oleh Kementerian Pertanian.  Biaya itu meliputi biaya bahan dan alat, jasa pemulia, sewa tanah, biaya uji multilokasi, biaya pelepasan varietas, dan biaya tetap (overhead cost). 

Total  biaya itu akan bervariasi dari satu ke lain lembaga pemulia.  Sebagai contoh, biaya penciptaan varietas oleh BB Padi lebih mahal dibanding oleh Batan.  Hal itu dimungkinkan karena Batan mampu memangkas waktu proses pemuliaan melalui penggunaan teknologi nuklir.  Sementara BB Padi menerapkan teknologi pemuliaan konvensional (persilangan).  

Contohnya padi unggul hasil teknik nuklir adalah Inpari Sidenuk (Inbrida Padi Irigasi Si Dedikasi Nuklir)  yang dilepas tahun 2011. Varietas unggul baru ini diperoleh melalui penggunaan teknologi mutasi iradiasi, dengan penyinaran sinar gamma.

Perkiraan biaya pemuliaan satu varietas padi unggul itu, menurut pengalaman saya di perbenihan, berkisar antara Rp 1 milyar  sampai Rp 2 milyar. Ini berpangkal pada pengalaman membantu satu perusahaan membeli hak cipta satu varietas padi unggul senilai Rp 1.25 milyar tahun 2016.  Awalnya ditawarkan Rp 1.5 milyar.

Biaya tidak hanya berhenti pada pembelian varietas.  Tapi juga untuk penangkarannya, mulai dari FS, SS, sampai ES.  Rata-rata biaya per hektar sekitar Rp 25 juta, termasuk sewa tanah di dalamnya.  Jika luas penangkaran ES, sebagai contoh, 1,000 ha, maka perlu biaya Rp 25 milyar. Tidak murah, bukan?

***

Kesadaran bahwa sesuap nasi itu sungguh mahal merupakan kesadaran baru bagi Poltak.  Selama ini dia berpikir bahwa harga nasi itu berbanding lurus dengan harga per kilogram beras.  Semakin mahal harga beras, semakin mahal harga nasi.  Paling murah beras bantuan, dulu disebut beras-miskin (raskin).  Paling mahal beras khusus impor, misalnya beras Jepang.

Tidak, tidak begitu.  Poltak sekama ini tak memperhitungkan jalan panjang, 6-7 tahun, yang dilalui sesuap nasi itu. Negara, swasta, dan petani telah mengeluarkan banyak uang, jika semua korbanan dikonversi ke dalam nilai uang, untuk bisa menghasilkan benih, gabah, dan beras bermutu tinggi bagi rakyat Indonesia.

Jadi, mulai hari ini, saat kita mengunyah sesuap nasi, baiklah jika mengingat 6-7 tujuh tahun yang telah dilalui nasi itu sebelum tiba di dalam mulut dan kemudian perut kita.   Ini mestinya menyadarkan bahwa kita, umat pengunyah nasi ini, telah melahap makanan yang sangat mahal harganya setiap hari, dua atau tiga kali sehari.

Apa implikasinya pada sikap kita?  Sikap Poltak mungkin bisa menjadi teladan.  Sadar bahwa beras itu makanan yang sangat mahal, kini dia bertekad untuk mengurangi konsumsi nasi. Katanya, "Bukan jumlahnya yang penting, tapi kualitasnya."

Begitulah. Pemerintah, pengusaha dan petani berjuang mewujudkan swasembada beras denganccara nenibgkatkan oroduksi dan produktivitas padi. Sementara Poltak berjuang dengan cara mengurangi tingkat konsumsi.

Demikian Poltak Center menulis untuk Kompasiana.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun