Jelas di sini, kriteria jumlah UV, dulu 3,000 UV sekarang 1,500 UV, bukan kriteria yang adil. Sebab berlaku sama untuk artikel bermutu rendah, sedang, dan tinggi. Â Kompasianer akan berpikir, untuk apa menulis artikel bermutu, jika dengan hanya menulis artikel bermutu rendah dengan judul bombastis bisa mendapatkan status terpopuler dan, karena itu, UV besar. Â Hal seperti ini akan menyebabkan demotivasi pada Kompasianer serius, yang terbiasa menulis artikel bermutu tinggi.
Memang, untuk jangka pendek, artikel-artikel bermutu rendah atau sedang yang populer itu bisa mengangkat angka pv dan UV Kompasiana. Â Tapi jangka panjang, hal itu akan mendegradasi mutu Kompasiana dan mendevaluasi nilai monetisasi, sehingga pembaca akan beralih ke media lain. Â Jika itu terjadi, maka Kompasiana akan tutup buku, dan rekan-rekan Min K mungkin akan dimutasi menjadi tukang sunting.
Jadi, logikanya begini. Jika Kompasianer digaji, maka mereka memiliki kewajiban untuk menulis artikel bermutu tinggi secara rutin untuk Kompasiana. Â Jika jumlah artikel bermutu tinggi semakin banyak, maka angka pv dan UV Kompasiana meningkat. Â Jika pv dan UV semakin tinggi, maka nilai monetisasi Kompasiana juga semakin tinggi. Â Itu namanya pertumbuhan. Â Bukan stagnasi, seperti kinerja Kompasiana tahun 2017-2020.
***
Bagaimana skema penggajian Kompasianer? Ah, gampang. Â Lazimnya penggajian, dasarnya pangkat dan kinerja. Â Pangkat di Kompasiana sudah ada, mulai dari Debutan, Junior, Taruna, Penjelajah, Fanatik, dan Senior. Â Mestinya pangkat itu bukan untuk gagah-gagahan. Â Tapi bisa dikonversi ke dalam nilai uang, katakanlah sebagai "gaji pokok". Â Paling kecil, gaji pokok Debutan dan paling besar Maestro (baru satu Kompasianer). Â Bisa juga diberi batasan, sebagai ukuran loyalitas, Kompasianer yang dapat dipertimbangkan untuk digaji harus minimal Penjelajah. Â Jadi jumlah yang berpeluang digaji akan lebih kecil.,
Apakah Kompasianer Penjelajah, Fanatik,dan Maestro otomatis akan mendapatkan gaji pokok bulanan?  Oh, tidak, enak aja.  Min K harus membuat kriteria eligibilitas untuk menentukan kelayakan Kompasianer mendapat gaji bulanan.  Misalnya:  harus terverifikasi; menulis minimal 5 artikel per minggu, dengan kriteria mutu dan topik artikel yang ditentukan oleh Min K; dan aktif dalam interaksi antar-Kompasianer.  Silahkan Min K tambahkan syarat  "keharusan" lainnya.
Karena sudah digaji, maka Kompasianer tentu harus tunduk pada aturan main. Â Misalnya, status "bergaji"-nya bisa dicabut jika tidak menunjukkan kinerja minimal 5 artikel bermutu per minggu. Â Atau, jika merasa tidak nyaman terikat, Kompasianer bergaji bisa saja mengundurkan diri. Â Ada hak, ada pula kewajiban, bukan?,
Jika untuk tahap pertama yang bisa dipertimbangkan untuk mendapat gaji bulanan adalah Kompasianer Terverifikasi (biru), maka jumlahnya hanya 548 orang Kompasianer. Â Jika disaring lagi menggunakan kriteria pangkat Penjelajah, Fanatik, dan Maestro maka jumlah itu mungkin tinggal 250 orang Kompasianer. Disaring lagi dengan kriteria TPPA, interaksi, dan lain-lain mungkin jumlahnya tinggal 100 orang saja. Â
Pertanyaaannya sekarang, jika per Kompasianer Bergaji itu dibayar Rp 2 juta/bulan (20 artikel), apakah terlalu berat bagi Kompasiana untuk mengalokasikan dana gaji Rp 200 juta per bulan? Â Pikirkan berapa pv dan UV dan tambahan pendapatan yang diperoleh Kompasiana dengan membayar "sekecil" itu. Â
Mungkin ada yang protes. Â Tak adil itu untuk Kompasianer Tervalidasi dan Non-Validasi, juga untuk mereka yang berpangkat Debutan , usampai Taruna. Hadeuh, usaha dong yang lebih keras, biar naik kelas. Â Masa baru masuk kerja langsung menuntut hak seperti direktur?
***