Hina banget rasanya harus beli jentik. Tindakan dungu di luar pikiran kenthir Poltak. Harus membeli mahluk comberan menjijikkan itu. Di masa pandemi pula. Apa hubungannya?
Hina demi cinta. Cinta pada seekor cupang sawah kecil di gentong besar. Ya, hanya demi seekor cupang, Poltak harus membeli jentik pada Bang Rastamasta. Itu dilakukannya dua hari lalu.
Tak ada pilihan lain. Jangankan jentik, nyamuk pun tak ada di rumah Poltak. Â Padahal, cupang doyan banget nyantap mahluk kecil yang mematikan itu.Â
Dulu Poltak kerap mentertawai para pemburu jentik yang berkrlana dari comberan ke selokan. Sekarang dia mahfum, betapa besar jasa mereka. Untuk para pecinta cupang dan pemberantasan DBD. Â
Hebat sebenarnya. Cupang kecil itu bisa memangsa hewan penular DBD dan Malaria. Hewan kecil yang ditakuti manusia. "Itu namanya predator, Pak. Musuh biologis." Anak gadis Poltak mengajari Bapaknya tentang hirarki makanan alami.
"Limaribu rupiah,Bu." Poltak menjawab pertanyaan istrinya soal harga jentik. "Kalau beli bawang daun, dapat banyak." Istrinya ketus. "Aih, manusia tidak hanya hidup dari bumbu," batin Poltak.
"Coba lihat, Bu. Betapa indahnya saat cupang menerkam jentik." Istri Poltak acuh tak acuh. Tapi, dengan ekor matanya, Poltak melihat istrinya mengintip cupang makan dari balik kaca jendela. Ya, sulit memang untuk tak jatuh cinta pada cupang. Sejelek apa pun dia.
Tadi pagi, Poltak bangun dan mengawali hari dengan rutinitas barunya. Mengempani cupang kecil dengan jentik. "Bah, banyak nyamuk di dalam toples!" Poltak berteriak sambil memelototi toples plastik, wadah jentik.
"Ya, iyalah! Jentik jadi nyamuk. Masa jadi lele!" Isteri Poltak menyambar dari depan kompor. "Yah, kalau jentik jadi lele, Jakarta jadi kota lele, dong." Poltak menjawab dalam hati.
"Awas, jangan sampai lepas. Bahaya. De be de!" Istrinya mewanti-wanti. "Tidaklah, Bu. Cupang kan doyan nyamuk juga." Poltak menenangkan.
"Ini namanya beli jentik bonus nyamuk." Poltak membatin, sambil tersenyum. Dia lupa pada proses metamorfosa. Dulu nilai biologinya kursi terbalik.
"Pak, coba lihat sini." Istrinya memanggil, sambil mengangkat botol bekas selai yang didaur-ulang menjadi pot janda bolong. "Lihat ada apa di dasarnya." Istrinya tersenyum. Poltak harus pasang kacamata untuk mengamati: ada beberapa ekor jentik di sana.
"Ngapain juga beli jentik. Di dalam pot ini ada jentik gratis." Istri Poltak menggugat.
"Bah! Ibu kan gak bilang kalau sekarang lagi ternak jentik."
"Apa katamu!" Istrinya melotot. Saatnya selarik senyum penawar pelototan dilancarkan.
Poltak terpikir, kemarin dia membubuhkan vetsin ke dalam pot-pot kaca tanaman hias peliharaan istrinya. Hal itu rupanya membuat air pot jadi keruh sehingga cocok untuk nyamuk bertelur.
Pertanyaannya, dari mana datangnya nyamuk? Bukankan nyamuk terakhir sudah purna dicerna cupangnya?
"Pasti itu nyamuk tetangga." Poltak mengambil kesimpulan. Â Pagi itu dia merasa cerdas.(*)
*Selamat lintas batas tahun 2020/2021 dengan tawa, Kawan-Kawan Kompasianer!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H