Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kisah 1001 Artikel di Kompasiana

22 Desember 2020   15:47 Diperbarui: 23 Desember 2020   05:50 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berkayuhlah terus ke depan (Dokpri)

Tujuh hari lewat sudah. Senin kemarin adalah hari terakhir retretku di Kilometer 1,000 Kompasiana. Hari ini, Selasa, aku boleh menulis lagi. 

Inilah artikel nomor 1001. Tentu saja. Sebab habis 1000 terbitlah 1001. Setelah 1001? Entahlah, aku bukan seorang guru Kelas Satu SD yang sedang mengajarkan pembilangan.

Kisah 1000 dari 1001 artikelku telah kubeber pada artikel nomor 1000, Sebuah Retret di Kilometer Seribu Kompasiana. Semua itu adalah hasil anarkisme-inovatif, kenthirisme, proses persenyawaan logika, etika, dan estetika.

Sudah kubabar pula, anarkisme itu mengasah intuisi, dan intuisi merecikkan serendipitas. Lalu keseluruhannya menuntun salingtindak triangular antara idea, data, dan kata yang membangun setiap tulisanku.

Tak terkecuali, artikel nomor 1001 ini pun lahir dari proses serupa: intuisi dan serendipitas. Terkesan tanpa rencana. Tapi sebenarnya tidak begitu. Seperti kata Daeng Khrisna Pabichara,  rancangan dan data dasarnya sudah selesai di kepala. Intuisi dan serendipitas bekerja ketika isi kepala itu dituangkan ke dalam bentuk tulisan. 

Jadi, menulis, bahkan bagi seorang anarkis atau kenthir, bukanlah proses seketika. Kerangka dan data dasar setiap tulisan itu sudah ada, dan selesai, sejak kemarin, minggu lalu, bulan lalu, tahun lalu, bahkan belasan atau puluhan tahun lalu. Selalu ada jarak waktu antara idea dan teks.

Kemarin, aku menghabiskan sisa waktu retret dengan menonton Poltak menebas dua batang pohon pisang, karunia mukjizat yang ditanam musang di pekarangan rumahnya. Poltak takhabis dirundung masalah yang muncul akibat mismanajemen karunia mukjizat itu.

Kata Poltak, dia harus menebang dua batang pisang yang tumbuh condong ke udara pekarangan tetangga. Hal itu menjadi persoalan karena, menurut hukum agraria, dua batang pisang itu telah menjajah wilayah pekarangan tetangga. Sebagai hukuman, kelak buahnya akan menjadi hak tetangga.

Tentu saja Poltak tak sudi pisangnya dicap sebagai penjajah. Itu kategorinya kejahatan internasional. Lagi pula apa kata dunia bila karunia menjadi penjajah, penebar mudarat. Karena itu, tidak ada pilihan lain kecuali, "Tebang!" Itu perintah isterinya.

Berkat mengamati Poltak berakrobat menebang pohon pisang mulai dari pucuknya, terpikir olehku ikhwal pemosisian diri. Agar menebar manfaat, setiap ciptaan Tuhan itu harus berada pada tempat yang selayaknya.  Jika tidak, maka terjadi disharmoni, lalu petaka mudarat.

Begitu pun tempatku dalam tatanan sosial Kompasiana.  Dalam konteks mayoritas milenial, pemilik panggung Kompasiana,  di manakah selayaknya aku berdiri? Itulah pertanyaan besar yang harus kujawab dalam retret tujuh hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun