Kaum tua menyediakan bahu untuk pijakan kaum muda, agar mereka dapat melihat lebih luas dan jauh ke depan.Â
Suksesi itu niscaya. Sebab jika tidak begitu, maka perkawinan janganlah membuahkan anak. Supaya dunia berakhir, menyusul kematian lelaki dan perempuan terakhir.
Bertahan itu tidaklah salah. Â Tapi, sungguh, tiada eloknya bila aku, si tua ini, Â menolak turun dari panggung, senyampang orang muda sudah selayaknya berdiri di sana. Di manakah letak kepantasannya, orangtua merampas masa depan dari genggaman anak.
Ada titik waktu hening. Alangkah indahnya bila aku boleh diam dalam hening itu. Diam, mengalami diri serupa perigi bening di tengah ladang. Â Barangkali saja, suatu ketika, ada dua tiga kelana muda melintas di situ. Lalu, siapa tahu, mereka sudi melepas dahaga, dengan satu dua ciduk airnya.
Biarlah kaum muda mengambil selaut riuh di ajang juang, sedangkan bagi kaum tua, cukuplah sisakan setitik hening di liang tapa.
Retret itu diam. Dialah liang tapa yang hening, ruang dan waktu bagiku untuk menepi dari riuh ajang juang. Dalam diam itu, pikiranku lepas meniti waktu ke masa lalu, menyisir segenap lakon yang telah kumainkan. Lalu memamah ulang setiap lakon itu, membuang sepahnya, mengambil sari terbaiknya, dan membagikannya kepada kaum muda yang sudi.
Berbagi itu bajik. Dialah makna terindah dari tahun-tahun sarat berkah yang telah kulalui. Tahun-tahun aku diizinkanNya menghirup udara dan menadah cahaya tanpa bea. Durhakalah aku pada Tuhanku bila maslahat, yang kuraih berkat udara dan cahaya cuma-cuma, tak hendak kubagikan kepada kaum muda yang sudi berdiri di bahuku.
Enam tahun telah lewat. Itulah penggal masa, tahun-tahun aku, si tua ini, melangkah tertatih di jalan Kompasiana, hingga tibalah aku di titik Kilometer Seribu. Ribuan butir pikiran, tersaji dalam seribu tulisan yang mengemas ratusan ribu kata, telah kuhaturkan ke hadapan khalayak. Saatnya kini, di sini, sebuah retret untukku, sebuah hening untuk berbagi dalam diam.
Metode mengayakan logika, humor mengayakan etika, dan puisi mengayakan estetika; senyawa ketiganya adalah  jiwa sebuah tulisan.
Setiap kata punya makna. Maka hendak kubagikan makna dari ratusan ribu kata dalam seribu tulisanku, utamanya kepada kamu, wahai, kaum muda. Walau pun kutahu, makna keseluruhan kata-kataku itu tiada berarti dibanding makna satu kata dari sabdaNya. Tapi, kuingat Dia pernah  bersabda, persembahan janda miskin itu lebih besar daripada persembahan pengkotbah kaya. Sebab janda itu memberi dari kekurangannya, sedangkan pengkotbah memberi dari kelebihannya.
Logika, etika, dan estetika.  Senyawa tiga unsur itu adalah  jiwa yang memberi karisma dan kuasa maslahat pada tulisan. Sebab tanpa logika, tulisan adalah dusta; tanpa etika, tulisan adalah racun; tanpa estetika, tulisan adalah sampah.  Itulah suluhku dalam penganggitan, sehingga aku boleh berharap, tulisanku tidak menjadi dusta, racun, dan sampah perusak khalayak.
Cintailah metode, humor, dan puisi. Â Tak perlu kuliah logika untuk paham logika; tak harus kuliah etika untuk paham etika; tak mesti kuliah estetika untuk paham estetika. Cukuplah bila mencintai metode yang mengajarkan logika; mencintai humor yang mengajarkan estetika; mencintai puisi yang mengajarkan estetika. Â Tiga hal itu telah kulakoni, dan dengan itu aku menaruh jiwa ke dalam setiap tulisanku, sejak dari Kilometer Satu sampai Kilometer Seribu di Kompasiana.Â
Anarki itu mengasah intuisi, intuisi merecikkan serendipitas, lalu keseluruhannya menjiwai salingtindak triangular antara idea, data, dan kata yang membangun sebuah tulisan.
Pikiran itu harus merdeka.  Aku tak sudi pikiranku dijajah satu metode, aturan yang dibakukan minoritas tirani sebagai jalan tunggal menuju kebenaran. Pikiran haruslah merdeka, agar darinya boleh mengalir  kebaruan yang maslahat. Maka aku mengikuti jalan Feyerabend, membacakan proklamasi kemerdekaan berpikirku, "Metode tulisku adalah tanpa-metode!" Itulah anarkisme kepenulisan, membolehkan setiap cara tulis, sepanjang dia setia pada rambu-rambu logika, etika, dan estetika. Kusebut itu kenthirisme, kata lain dari anarkisme-inovatif.
Anarki, intuisi, dan serendipitas. Anarki itu mengasah intuisi, kemampuan posnalar yang merecikkan ragam serendipitas, temuan-temuan cerlang tak disangka, ketika melarut dalam dinamika salingtindak triangular antara idea, data, dan kata, yang membangun sebuah tulisan di titik sumbunya. Demikianlah caraku meniupkan jiwa, senyawa logika, etika, estetika pada seribu tulisanku. Sambil berharap mereka benar-benar mengandung jiwa dalam dirinya, agar tak menjadi dusta, racun, dan sampah.
Retret, menepi untuk hening. Aku adalah seorang pejalan anarkis tua di Kompasiana, yang kenal rasa lelah, jenuh, buntu,dan marah, selayaknya seorang anak manusia biasa. Setelah kuberikan semua yang dapat kubagikan, kini dan di sini, izinkanlah aku menepi sejenak dari keriuhan  ajang juang, untuk mengalami hening, pada sebuah retret di Kilometer Seribu Kompasiana. Janganlah kau tanya, sekalipun di dalam hatimu, kapan aku akan kembali.[*]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H