Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Babi, Ternak Adat dalam Masyarakat Batak

8 Desember 2020   15:47 Diperbarui: 9 Desember 2020   14:06 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orang Batak dan babinya sekitar tahun 1920-an (Foto: historia.id/tropen museum)

Dalam konteks budaya masyarakat Batak (Toba), label babi sebagai "ternak adat yang tak beradat" sangatlah tepat.  Label atau frasa itu memang terkesan kontradiktif, sehingga bisa saja mengundang resistensi psikologis dari orang Batak. Tetapi frasa itu memang sesuai dengan kenyataan, dan kerap dijadikan guyonan juga,  dalam masyarakat Batak. 

Di satu sisi, babi disebut ternak adat karena menjadi pilihan paling lazim sebagai juhut, lauk daging, untuk hidangan makan bersama.  Sejatinya  bukan hanya babi yang berfungsi demikian.  Di lingkungan orang Batak Parmalim (penganut agama asli) dan Muslim, fungsi itu digantikan oleh kambing.  Pada kegiatan adat skala besar, lazim disembelih sigagat duhut,  ternak ruminansia besar seperti kerbau,  lembu, dan kuda (khusus di daerah Humbang).  Tapi ternak babi, sebutan adatnya pinahan lobu, tetaplah pilihan yang paling umum.

Fungsi babi sebagai ternak adat sesungguhnya tidaklah khas Batak.   Hal serupa berlaku juga untuk sejumlah etnis lain nusantara.  Katakanlah ragam sub-etnik Dayak, ragam sub-etnik NTT (Flores, Sumba, Timor, Alor) dan etnik Toraja. Tentu sejauh anggota etnis itu tidak mengharamkan babi karena alasan agama, kepercayaan, dan lain-lain.  Fungsi  ternak adat semacam itu, untuk memudahkan pemahaman, kurang lebih serupa dengan fungsi beras ketan sebagai "tanaman adat" pada etnis Jawa dan Sunda.  Pada dua etnis ini, saat upacara adat, wajib tersaji penganan (juadah) berbahan baku beras ketan.

Fungsi babi sebagai ternak adat secara gamblang dipanggungkan pada saat pelaksanaan upacara adat Batak. Itu bisa disaksikan pada saat orang Batak mengadakan upacara adat peralihan, semisal marhusip (kesepakatan nikah antara keluarga kedua calon mempelai), tonggo raja/ria raja (koordinasi pelaksanaan adat nikah),  ulaon unjuk (pelaksanaan adat nikah), manuruk jabu (pengantin baru masuk rumah baru) dan manulangi  (menyulang makanan kepada orangtua).  Nanti hal ini akan dijelaskan tersendiri, untuk mendapatkan gambaran sedikit lebih lengkap.

Di lain sisi, babi dilabeli sebagai "ternak yang tidak beradat" karena merujuk pada perilaku seksualnya yang memang tak beradat jika ditempatkan dalam kerangka adat-istiadat Batak dan, pasti juga, etnik-etnik dan masyarakat lain di Indonesia dan dunia.  Perilaku seks babi dikatakan tidak beradat karena serba liar, tanpa "tata sosial".  Setiap betina sah saja kawin dengan setiap jantan, tak perduli bahwa antara keduanya ada hubungan darah ("ibu-anak", "bapak-anak", "kakak-adik").  

Hubungan inses, yang terlarang secara adat manusia, terjadi secara komplit dalam "masyarakat babi". Itu sebabnya jika ada orang yang melakukan inses, maka dia atau mereka akan dimaki dengan ujaran, "Dasar babi!"  atau "Babi!" (saja).

***

Fungsi babi sebagai ternak adat terletak pada penggunaan bagian-bagian tubuh tertentu sebagai simbol sekaligus pengakuan terhadap eksistensi tiga status sosial-adat pada struktur Dalihan Natolu (Tiga Batu Tungku)  struktur asli masyarakat adat Batak Toba yang bersifat genealogis. Tiga status itu adalah hula-hula, keluarga/kerabat pihak pemberi isteri (penerima suami); dongan tubu, keluarga/kerabat segaris darah (patrilineal); dan, boru, keluarga/kerabat  pihak penerima isteri (pemberi suami).

Untuk menjelaskan fungsi sebagai ternak adat itu dengan baik, baiklah kita ambil kasus pesta adat pernikahan amanguda (bapak muda, paklik) Poltak tahun 1969 di Panatapan, Tanah Batak.  Pernah saya tulis di K bahwa pesta nikah adat Batak Toba itu adalah pemanggungan relasi sosial -adat Dalihan Natolu.  Dalam konteks adat pernikahan itu, keluarga Poltak adalah suhut bolon, tuan rumah utama pesta adat.   Pada posisi sebagai suhut bolon, keluarga kakek Poltak  memiliki hula-hula, dongan tubu, dan boru.  

Susunan relasi sosial-adat Dalihan Natolu keluarga Poltak adalah sebagai berikut.  Hula-hula  itu luas cakupannya, antara lain mencakup hula-hula langsung amanguda Si Poltak (Keluarga Marga P), hula-hula bapak Si Poltak (Keluarga Marga S), hula-hula kakek Poltak (Keluarga Marga S), dan hula-hula buyut Si Poltak (Keluarga Marga S).  Dongan tubu keluarga Poltak terutama adalah kerabat besar segaris darah (patrilineal), semarga. Boru langsung keluarga Poltak adalah keluarga-keluarga yang mengambil isteri dari keluarga buyut dan kakek Poltak.

Dalam kegiatan pesta adat nikah amanguda Si Poltak, semua hula-hula, dongan tubu, dan boru tersebut hadir menjalankan peran masing-masing dan kartena itu wajib hukumnya mendapat pengakuan secara adat.  Juga, andai tak dapat hadir karena sesuatu hal, dia harus mendapat pengakuan secara terwakili oleh orang hadir (mewakili).  Di pesta itulah ternak adat babi memainkan fungsi simboliknya, sebagai pengakuan terhadap satus dan peran hula-hula, dongan tubu, dan boru tersebut.

Fungsi simbolik pengakuan adat tersebut dijalankan melalui pembagian jambar juhut, bagian tubuh ternak yang menjadi simbol pengakuan pada status hula-hula, dongan tubu, dan boru. Pembagiannya sebagai berikut,menurut aturan yang berlaku dalam masyarakat Batak Toba yang berdiam di wilayah Toba (wilayah Humbang/Silindung punya aturan adat sendiri).  

Pertama,  jambar untuk hula-hula adalah namarngingi, rahang dan kepala bagian atas. Jambar untuk tulang, termasuk hula-hula juga (ada tiga kategori, perlu penjelasan tersendiri)  namarngingi dan somba-somba, rusuk bagian depan.  Pilihan atas rahang/kepala bagian atas dan rusuk (somba-somba) itu adalah simbolisasi hula-hula/tulang  sebagai pihak yang harus dihormati, dimuliakan, karena mereka adalah sumber berkah. Ini sesuai dengan nilai somba marhula-hula, hormat kepada hula-hula.

Kedua, jambar untuk boru adalah rahang bawah.  Pilihan rahang bawah itu adalah simbolisasi nilai elek marboru,  sikap sabar penuh kasih kepada boru, anak perempuan dan keluarganya.  Rahang bawah itu menyimbolkan elusan hula-hula pada dagu boru, sebagai gesture kasih-sayang.  Hal itu mengingat peran boru sebagai pendukung utama hula-hulanya dalam kegiatan adat dan kehidupan nyata.

Ketiga, jambat untuk suhut dan dongan tubu adalah ihur-ihur, bagian pingul belakang dan soit, paha-bawah depan dan belakang.  Ihur-ihur itu melambangkan peran dongan tubu sebagai kekuatan di belakang suhut, dan soit melambangkan peran dongan tubu sebagai kaki-tangan suhut.

Demikianlah pembagian jambar juhut dilakukan sebagai bentuk pengakuan terhadap status hula-hula, dongan tubu, dan boru. Semua harus dibagikan secara tepat dan lengkap, tidak boleh ada yang keliru, kurang, ataupun berlebih.  Itu sebabnya orang Batak sangat menghargai tarombo, silsilah keluarga, karena hal itu akan menunjukkan siapa saja hula-hula, dongan tubu, dan boru, baik dalam hubungan  sosial adat vertikal maupun horisontal.

Bisa dikatakan, dengan memanggungkan Dalihan Natolu melalui pembagian jambar juhut dalam kegiatan-kegiatan sosial adat, relasi-relasi soasia adat diingatkan dan dikukuhkan kembali.  Dengan demikian relasi Dalihan Natolu tetap dijalankan oleh setiap keluarga Batak, sebagai cara hidup dalam konteks adat-istiadat masyarakat Batak.

***

Dengan penjelasan di atas, kiranya jelas fungsi sentral babi sebagai ternak adat dalam masyarakat hukum adat Batak (Toba). Sangat jelas pula bahwa dibanding hewan lain, kecuali mungin dibanding tikus, perilaku seks babi tergolong paling tak beradat, jika dinilai dari sudut norma sosial manusia. Tapi fakta itu memang diabaikan, atau tak dipermasalahkan, saat babi tampil dalam fungsinya sebagai ternak adat.

Frasa "babi ternak adat yang tak beradat dalam masyarakat Batak" kiranya telah saya jelaskan secara proporsional.  Mudah-mudahan tidak ada resistensi orang Batak sendiri terhadap frasa yang sudah lazim itu. 

Satu hal perlu dipahami, adat Batak bukanlah suatu pranata sakral yang tidak boleh dikritisi. Adat adalah warisan norma sosial  tertinggi dalam masyarakat Batak yang diwariskan oleh leluluhurnya.  Ada umpasa, petitih adat, yang mengatakan, "Tuat ma na dolok, martungkothon sialagundi; Napinungka ni parjolo,  ingkon diihuthon na parpudi."Artinya, "Turun dari gunung, bertongkat kayu legundi; Warisan adat dari leluhur, harus diikuti turunannya."  Tapi kata "mengikuti" di situ harus diletakkan dalam konteks sosial yang berubah setiap masa.

Bisa disimpulkan, adat Batak harus dilakoni oleh orang Batak secara kontekstual, tergantung pada karakter sosial masyarakat Batak pada suatu penggal masa tertentu.  Lain ruang dan waktu, maka beda pula tafsir dan artikulasi adat Batak. 

Demikian pendapat saya, Felix Tani, seorang petani gurem yang sedang mempelajari sosiologi masyarakat Batak Toba. Karena saya sedang belajar, maka saya berharap ada koreksi atau kritik terhadap pendapat saya.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun