Fungsi simbolik pengakuan adat tersebut dijalankan melalui pembagian jambar juhut, bagian tubuh ternak yang menjadi simbol pengakuan pada status hula-hula, dongan tubu, dan boru. Pembagiannya sebagai berikut,menurut aturan yang berlaku dalam masyarakat Batak Toba yang berdiam di wilayah Toba (wilayah Humbang/Silindung punya aturan adat sendiri). Â
Pertama,  jambar untuk hula-hula adalah namarngingi, rahang dan kepala bagian atas. Jambar untuk tulang, termasuk hula-hula juga (ada tiga kategori, perlu penjelasan tersendiri)  namarngingi dan somba-somba, rusuk bagian depan. Pilihan atas rahang/kepala bagian atas dan rusuk (somba-somba) itu adalah simbolisasi hula-hula/tulang sebagai pihak yang harus dihormati, dimuliakan, karena mereka adalah sumber berkah. Ini sesuai dengan nilai somba marhula-hula, hormat kepada hula-hula.
Kedua, jambar untuk boru adalah rahang bawah.  Pilihan rahang bawah itu adalah simbolisasi nilai elek marboru,  sikap sabar penuh kasih kepada boru, anak perempuan dan keluarganya.  Rahang bawah itu menyimbolkan elusan hula-hula pada dagu boru, sebagai gesture kasih-sayang.  Hal itu mengingat peran boru sebagai pendukung utama hula-hulanya dalam kegiatan adat dan kehidupan nyata.
Ketiga, jambat untuk suhut dan dongan tubu adalah ihur-ihur, bagian pingul belakang dan soit, paha-bawah depan dan belakang. Â Ihur-ihur itu melambangkan peran dongan tubu sebagai kekuatan di belakang suhut, dan soit melambangkan peran dongan tubu sebagai kaki-tangan suhut.
Demikianlah pembagian jambar juhut dilakukan sebagai bentuk pengakuan terhadap status hula-hula, dongan tubu, dan boru. Semua harus dibagikan secara tepat dan lengkap, tidak boleh ada yang keliru, kurang, ataupun berlebih.  Itu sebabnya orang Batak sangat menghargai tarombo, silsilah keluarga, karena hal itu akan menunjukkan siapa saja hula-hula, dongan tubu, dan boru, baik dalam hubungan  sosial adat vertikal maupun horisontal.
Bisa dikatakan, dengan memanggungkan Dalihan Natolu melalui pembagian jambar juhut dalam kegiatan-kegiatan sosial adat, relasi-relasi soasia adat diingatkan dan dikukuhkan kembali. Â Dengan demikian relasi Dalihan Natolu tetap dijalankan oleh setiap keluarga Batak, sebagai cara hidup dalam konteks adat-istiadat masyarakat Batak.
***
Dengan penjelasan di atas, kiranya jelas fungsi sentral babi sebagai ternak adat dalam masyarakat hukum adat Batak (Toba). Sangat jelas pula bahwa dibanding hewan lain, kecuali mungin dibanding tikus, perilaku seks babi tergolong paling tak beradat, jika dinilai dari sudut norma sosial manusia. Tapi fakta itu memang diabaikan, atau tak dipermasalahkan, saat babi tampil dalam fungsinya sebagai ternak adat.
Frasa "babi ternak adat yang tak beradat dalam masyarakat Batak" kiranya telah saya jelaskan secara proporsional. Â Mudah-mudahan tidak ada resistensi orang Batak sendiri terhadap frasa yang sudah lazim itu.Â
Satu hal perlu dipahami, adat Batak bukanlah suatu pranata sakral yang tidak boleh dikritisi. Adat adalah warisan norma sosial  tertinggi dalam masyarakat Batak yang diwariskan oleh leluluhurnya.  Ada umpasa, petitih adat, yang mengatakan, "Tuat ma na dolok, martungkothon sialagundi; Napinungka ni parjolo,  ingkon diihuthon na parpudi."Artinya, "Turun dari gunung, bertongkat kayu legundi; Warisan adat dari leluhur, harus diikuti turunannya."  Tapi kata "mengikuti" di situ harus diletakkan dalam konteks sosial yang berubah setiap masa.
Bisa disimpulkan, adat Batak harus dilakoni oleh orang Batak secara kontekstual, tergantung pada karakter sosial masyarakat Batak pada suatu penggal masa tertentu. Â Lain ruang dan waktu, maka beda pula tafsir dan artikulasi adat Batak.Â