"Bagus! Kau harus hafal mata angin. Â Kalau tidak, kau bisa tersesat di angkasa."
"Srot." Poltak spontan menoleh ke kanan, ke arah hidung Polmer. Â Tak ada ingus meler di sana. Â Luar biasa, kecepatan lesap ingus Polmer melebihi kecepatan suara.
"Tapi sebelum itu, kau harus bisa kendalikan ingusmu. Tak adalah itu pilot ingusan."
"Poltak! Maju!" Â Guru Barita menunjuk murid pertama.
"Bah, aku pula," rutuk Poltak dalam hati. Â Begitulah Guru Barita. Â Dia selalu menunjuk murid selalu acak. Â Tidak pernah tertib menunjuk mulai dari bangku terdepan atau berdasar urutan nama dalam daftar murid.
"Bawa tongkatmu!"
"Apa pula maunya guru kami ini," Poltak membathin sambil bergegas ke depan kelas.
"Tunjuk dengan tongkatmu delapan penjuru mata angin."
"Timur, tenggara, selatan, barat laut, barat, barat daya, utara, timur laut!"Â
"Salah!" Guru Barita mendekat. "Sini tongkatmu!" Â Hanya sekedipan mata setelah berpindah tangan, tongkat kayu itu sudah mendarat di bokong Poltak.
Akhirnya berguna juga tongkat kayu itu. Bukan untuk memukul babi, kakus menguik itu. Â Tapi memukul murid yang keliru dalam pelajaran. Â Poltak adalah korban pertama.