Tidak semua anak memperoleh karunia dibesarkan oleh ibu bio-sosiologisnya. Oleh seorang ibu yang tak hanya mengandung dan melahirkan anaknya. Tetapi juga berlanjut merawat dan mengasuhnya. Dari sejak dia masih orok telentang, Â lalu merangkak, melangkah, Â berlari, sampai akhirnya menjadi anak sehat yang memanjat pohon mangga tetangga.
Karuniaku tidaklah seperti itu. Aku tak dibesarkan ibu biologisku, melainkan oleh ibu sosiologisku. Dia adalah nenekku terkasih. Kondisi itu bukan pilihankan. Sepenuhnya berkat permohonan nenekku yang diamini ibu kandungku.
Tidak sedikit anak yang sepertiku, walau populasi kami tetaplah minoritas. Â Selain oleh nenek, Â seperti kasusku, Â ada yang mendapat karunia dibesarkan oleh ibu tiri, tante, inang asuh, ataupun ibu panti asuhan. Mereka semua adalah ibu sosiologis, bukan penitis darah langsung.Â
Nenekku, ibu sosiologisku, adalah guru pertamaku. Bukan mengajariku baca-tulis-hitung. Bukan. Dia tak genap dua tahun ikut Sekolah Rakyat. Karena itu, secara formal, dia masuk ke dalam bilangan warga buta aksara dan angka. Jika kemudian dia bisa berhitung sederhana, terkait urusan dagang hasil bumi dan keuangan rumahtangga, maka itu adalah hasil belajar mandiri.
Nenekku adalah guru pertamaku dalam seni hidup sosial. Â Tentang bagaimana seorang warga muda memasuki dan menjalani kehidupan sosial. Itu suatu ajar sosial untuk memampukan aku menjadi bagian dari keluarga, lalu komunitas, dan akhirnya masyarakat.
Ajar sosial itu bukanlah ilmu, melainkan seni hidup sosial yang tak diajarkan di sekolah formal. Seni itu, sebagaimana diajarkan nenekku, menyangkut dua hal pokok dalam hidup. Satu, tanggungjawab sosial dan, dua, relasi sosial.
***
Aku lahir dan menghabiskan masa kanak-kanakku di Panatapan (pseudonim), sebuah kampung kecil di gigir utara wilayah Toba, Tanah Batak. Di kampung itulah aku menjadi "murid" untuk nenekku, guru pertamaku itu.
"Kau gembalakanlah kerbau kita." Begitulah nenek mengajariku, saat usia lima tahun, tanggungjawab sosial. Dengan membebankan padaku tugas penggembalaan kerbau milik keluarga. Enam ekor jumlahnya: tiga  indukan dan tiga anakan.
Demikianlah aku diajari tanggungjawab sosial dalam prakteknya. Tanggungjawab terhadap keluarga dan komunitas sekampung. Tugas penggembalaan kerbau adalah wahananya.
Enam ekor kerbau itu adalah modal sekaligus kekayaan keluarga. Aku harus merawat dan menjaga keselamatan mereka. Tidak boleh ada yang kelaparan, sakit, apalagi hilang. Itulah tanggungjawabku kepada keluarga. Dengan itu, hidupku jadi bermakna.