Kedua, penolakan terhadap legitimasi oposisi politik. Ini mencakup labelisasi subversif terhadap  oposisi, pemosisian lawan politik sebagai ancaman nasional, kriminalisasi lawan politik, dan stigmasisasi lawan politik sebagai antek asing.Â
Faktual kini partai-partai PKS, PAN dan PD memposisikan diri sebagai oposisi sekaligus lawan politik rejim berkuasa. Tapi, toh tidak satu pun dari partai itu dicap sebagai kelompok subversif, ancaman nasional, organisasi kriminal, atau pun antek asing.
Hal serupa bisa dikatakan tentang KAMI, yang memposisikan diri sebagai kekuatan kritik terhadap pemerintah. Â Tidak ada pelarangan terhadap eksistensi dan aktivitas KAMI. Sejauh itu tidak melanggar protokol kesehatan dalam konteks penanggulangan Covid-19.
Memang ada sejumlah tokoh partai (PKS) dan aktivis politik (KAMI) yang berurusan dengan penegak hukum. Tapi jelas hal itu bukan kriminalisasi politisi oposan atau kritis. Kasus-kasus itu  murni menyangkut  pelanggaran atau indikasi pelanggaran hukum.  Artinya, pemerintahan Jokowi masih bergerak di jalur konstitusi.
Ketiga, pembiaran atau fasilitasi aksi kekerasan. Â Hal ini mencakup adanya relasi dengan kelompok milisi liar, penggerakan massa untuk menyerang lawan politik, pembiaran terhadap kekerasan oleh kelompok pendukung, dan pendiaman atas aksi kekerasan politik di masa lalu atau di tempat lain.
Indikator ini paling mungkin dikaitkan dengan anggapan "tebang pilih" dalam penegakan hukum. Kritik yang mengemuka: Â jika dugaan pelanggaran hukum, misalnya penistaan, dilakukan pendukung rejim maka tidak diproses secara hukum, tapi jika pelakunya dari pihak lawan politik maka dengan cepat ditindak-lanjuti aparat hukum.Â
Barangkali kasus Ade Armando dan Rizieq Shihab paling tepat untuk menjelaskan soal ini.  Pihak oposisi rejim cenderung berpendapat aparat hukum tidak berlaku adil dalam dua kasus itu.  Kasus penistaaan agama dan ulama oleh Ade katanya tidak diproses, sedangkan kasus penistaan agama dan etnis oleh Rizieq  ditindak-lanjuti.  Dari media bisa diperoleh informasi bahwa Ade telah berulangkali diperiksa polisi terkait kasusnya, sedangkan pemeriksaan terhadap Rizieq terhenti karena dia memilih pergi untuk tinggal beberapa tahun di Arab Saudi.
Keempat, pembatasan terhadap kebebasan sipil lawan politik termasuk media. Hal ini meliputi dukungan terhadap kebijakan dan peraturan perundangan yang membatasi kebebasan bersuara kritis kepada pemerintah, intimidasi hukum terhadap politisi, media dan warga yang bersuara kritis, dan toleransi pada tindakan represif di masa lalu atau di tempat lain.
Untuk kasus Indonesia, indikator ini tampaknya bisa merujuk pada pengesahaan UU Nomor 17 tentang MPR, DPR dan DPD dan DPRD (MD3), yang dinilai membatasi kritik terhadap anggota DPR. Â Juga KUHP yang menjaga Presiden dan Wapres dari penghinaan.
Tapi jika disimak baik-baik, sebenarnya tidak ada larangan mengritik DPR dan Presiden terkait kinerjanya, sebagaimana diatur konstitusi. Â Hal yang dilarang adalah menghina atau menista DPR dan Presiden, termasuk di sini kritik yang tanpa dasar.
Sejauh ini pemerintahan Jokowi tidak pernah menekan para politisi dan aktivis sosial yang menyampaikan kritik, sepanjang kritik itu memiliki dasar yang kuat. Â Suara-suara kritis masih bertebaran dari, misalnya, ILC TV One, Mata Najwa, PA 212, dan KAMI. Â Tidak ada seorangpun yang ditangkap karena menyampaikan kritik yang berdasar.