Polemik RUU Larangan Minuman Beralkohol seolah berhenti pada dua isu sosial-ekonomi. Â Pertama, RUU Laminol dinilai mengabaikan fungsi minuman beralkohol tradisional (minoltra) sebagai identitas kultural dan religi. Pelarangan pada produksi, logistik, distribusi, dan konsumsi minoltra dikhawatirkan merusak budaya dan religi etnis-etnis tertentu di nusantara.
Kedua, RUU Laminol itu dinilai berpotensi mematikan UKM minoltra di aras lokal. Â Baik itu produsen maupun pemasar, seperti kedai-kedai minum tradisional. Â Bahkan disinyalir, RUU Laminol itu hanya akan menguntungkan pebisnis minol skala besar. Â
Kesimpulannya, untuk sementara ini, RUU Laminol berpotensi menciderai budaya dan religi etnis-etnis nusantara dan mematikan usaha minoltra skala mikro dan kecil di tingkat lokal. Â Karena itu, diajukanlah saran agar RUU Laminol itu dikeluarkan dari Prolegnas DPR RI. Â
Tapi ada satu soal penting yang lupa diangkat ke permukaan. Â Soal konsistensi dan logika hukum. RUU Laminol itu nyata bertentangan atau menegasikan UU Omnibus Ciptaker yang telah disetujui DPR dan disahkan Presiden. Â Saya akan jelaskan soal ini secara singkat.
Pemerintah selalu mengatakan bahwa UU Ciptaker itu dibuat untuk memfasilitasi pertumbuhan UMKM, dan dengan demikian jugamembuka  peluang kerja dan usaha bagi angkatan kerja nasional.  Jika klaim pemerintah ini, juga klaim DPR, ini diterima maka jelas RUU Laminol itu anti-UMKM, karena dipastikan akan mematikan usaha kecil di bidang minol.  Dengan demikian dia menegasikan UU Ciptaker.
Itu sangat absurd. Â Bukankah UU Ciptaker dibuat dan disahkan untuk menebas semua peraturan perundangan-undangan yang anti-UMKM? Sekarang, setelah UU Ciptaker disahkan, lha, kok mau disahkan RUU Laminol yang anti-UMKM. Lalu untuk apa negara harus menguras energi menghadapi gelombang protes dan penolakan terhadap UU Ciptaker, kalau kemudian DPR menegasikannya lewat UU Laminol? Â Apakah persetujuan DPR atas UU Ciptaker tempo hari itu sebuah kebohongan? Â
Sifat penegasian itu terjadi karena RUU Laminol sudah diajukan sejak lama, sebelum gagasan UU Ciptaker ada dan kemudian diwujudkan. Â Jadi, sebagai produk cara pikir hukum yang lama, bisa saja RUU Laminol itu tidak konsisten dengan UU Ciptaker. Â
Cilakanya, DPR rupanya agak malas memeriksa kembali mana saja RUU yang ada di Prolegnas yang konsisten dan yang inkonsisten dengan UU Omnibus. Â Andaikan diperiksa dengan cermat, mestinya RUU Laminol itu dikeluarkan dari daftar karena inkonsisten dengan UU Ciptaker.
Lagi pula, konsideran RUU Laminol itu cacat logika. Di situ di sebut (butir b) "bahwa salah satu upaya untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta melindungi masyarakat dari dampak negatif minuman beralkohol perlu dilakukan larangan minuman beralkohol sehingga terjaga kualitas kesehatan, ketertiban, ketenteraman, dan keamanan masyarakat." Â
Konsideran itu dipertajam pada Pasal 3 tentang tujuan RUU Laminol yaitu untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh Minuman Beralkohol; Â menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya Minuman Beralkohol; dan menciptakan ketertiban dan ketentraman di masyarakat dari gangguan yang ditimbulkan oleh peminum minuman beralkohol.
Ada dua pertanyaan untuk menguji logika konsideran dan tujuan itu. Â Pertama, apakah minol di Indonesia benar-benar telah menimbulkan dampak negatif skala nasional, sehingga perlu dibuatkan sebuah UU Laminol untuk menghilangkan dampak tersebut? Â Hal dampak negatif skala nasional itu tak pernah jelas bentuk, skala, dan intensitasnya. Â Jadi konsideran RUU Laminol itu sifatnya asumtif, tidak didukung oleh fakta empiris.