Kemarin malam saya bermimpi digigit kuda di pantat. Bayangkan rahang kuda berhias barisan geligi besar layaknya pahat batu. Petakalah bila pantat sampai tergigit olehnya. Syukurlah kuda termimpi itu ternyata ompong, sehingga gigitannya malah terasa geli-geli sedap di pantat.
Saya tak ambil pusing dengan makna mimpi nggilani itu sampai kemudian, kemarin sore, saya membaca artikel humor Mas Susy di Kompasiana. Dia mengabarkan saya masuk lagi dalam daftar nomine Best in Opinion. Tahun lalu, 2019, sudah ikut masuk, tapi dipecundangi seorang Kompasianer pendatang baru yang cerlangnya alamak. Â
Jadi itulah arti mimpi pantat digigit kuda ompong itu. Nama saya masuk daftar nomine Best in Opinion lagi tahun itu. Rasanya, ya itulah, geli-geli sedap, persis yang saya rasakan dalam mimpi itu.
Sama seperti tahun lalu, orang yang paling bersemangat sejagad Kompasiana mendukung saya adalah Mas Susy. Â Tahun lalu dia khusus menulis satu artikel dukungan. Tahun ini begitu juga. Alasannya sungguh mengharukan: tak ingin berpulang sebelum melihat Felix Tani menjadi jawara Kompasianival Awards.
Yah, doa dan harapan baik Mas Susy boleh-boleh saja. Hal seseorang mendoakan Megawati dan Jokowi pendek umur saja tak jadi soal, bukan? Hal terindah dari sebuah doa adalah Tuhan selalu mendengar walau tak selalu mengabulkan. Â Beda dengan permohonan kepada, misalnya, Admin K: jangan kata dikabulkan, didengar juga belum tentu. Ini misal, lho.
Terlebih Mas Susy itu sekarang "Senior" untuk saya, seorang "Penjelajah" abadi. Pasti doanya lebih makbul. Tapi relasi itu sebenarnya rada ironis, sih. Ibaratnya, dia yang dulu memanggil saya "Suhu" kini sudah berpangkat Letjen, sementara saya, seniornya di bidang perusiaan, tetap setia dengan pangkat Brigjen. Â
Tapi begitulah keutamaan orang tua: menyediakan bahu untuk pijakan orang-orang muda, agar mereka bisa naik lebih tinggi lagi. Itulah yang saya lakoni kini di Kompasiana. Menulis untuk menyemangati, sekaligus menghibur, rekan-rekan Kompasianer muda untuk kreatif dan produktif. Â Syukur-syukur ada satu dua orang yang mau tersesat ikutan kenthir.
Jika diperiksa, maka dalam setahun ini sebenarnya tak banyak artikel opini yang saya tulis. Â Saya membatasi diri, untuk tidak bilang malas. Â Saya hanya akan menulis opini jika ada yang terpikir tidak adil. Semisal soal nasib petani yang terpinggirkan di Manggarai NTT, Â perisakan subyektif pada Menkes Terawan, perisakan pada Timor Leste, dan juga soal perisakan pada sesama Kompasianer. Â
Selebihnya, saya lebih banyak menulis artikel humor dan satire ringan tentang sesama Kompasianer dan Min K tercinta. Â Tak ada tujuan lain kecuali menghibur. Syukur-syukur, sekali lagi, ada yang tertarik menganut mashab kenthirisme.
Lalu ada satu proyek yang kini menjadi fokus kerja saya: menganggit novel kenthir Poltak. Â Ini novel anarkis, anti-plot, anti-teori. Â Sepenuhnya ditulis berdasar intuisi dan berkah serendipitas.Â
Sebegitu anarkisnya, Â sehingga saya sendiri tak pernah punya bayangan tentang arah dan akhir novel itu. Sudah pasti itu memusingkan pembaca. Sehingga saya perlu memohon, tabahkanlah hatimu untuk derita membaca cerita Poltak itu.