Suatu siang tahun 1994, di sebuah lapo di Jabotabek, Rudol (pseudonim), pemilik lapo menceritakan masa lalunya. Dulu, katanya, profesinya adalah pencopet. "Tapi aku pencopet yang beragama. Rajin ke gereja tiap hari minggu," kisahnya. "Karena itu aku bikin pantangan. Tidak mencopet di hari Minggu."
Mengapa pantang mencopet di hari Minggu? Â "Itu hari Tuhan. Tuhan sedang istirahat. Harus dihormati," dalihnya. Maksudnya, mungkin, karena Tuhan sedang istirahat maka umat itu sendirilah, berdasar karunia kehendak bebas, yang harus menjaga dirinya. Cilakanya, Rudol tak cakap menjaga duri sendiri.
Benar saja. Sepulang gereja di pagi hari, Rudol tergiur oleh dompet yang mengintip dari tas seorang ibu, yang berjalan di depannya. Â Di belakang Rudol ada Lucifer yang menumpulkan ingatan Rudol akan pantangannya. Â Maka dengan jurus patuk bangau, Rudol mencomot dompet tersebut.Â
Malang bagi Rudol. Dengan jurus belalang sembah, ibu itu refleks menangkap tangannya sambil berteriak minta tolong.  Singkat cerita, "Aku babak-belur dikeroyok massa. Masuk tahanan polisi pula," pungkas  Rudol.  Tak dikisahkannya apakah setelah itu dia pensiun mencopet.
***
Teringat pada kisah Rudol itu, saya ingin memberi nasihat, janganlah menulis artikel di Kompasiana pada hari Minggu. Â Hari Minggu adalah hari libur, hari istirahat dari rutinitas. Bukan hari yang baik untuk menulis artikel di Kompasiana.
Sedikitnya ada tiga nilai negatif jika menulis artikel di hari Minggu. (Silahkan ditambah sendiri kalau kurang banyak).
Pertama, mutu artikel lebih jelek dibanding hari biasa. Hal itu terjadi karena pada hari Minggu, berdasar kalender Romawi, otak kita diprogram untuk istirahat, santai, leha-leha. Karena itu otak cenderung tumpul memikirkan soal-soal serius di hari Minggu. Dia perlu vakansi untuk persiapan menghadapi masalah hari Senin sangat berat. Â
Karena otak tumpul, mungkin mogok juga, maka penulis artikel di hari minggu cenderung memilih topik-topik bermutu rendah. Misalnya, sekarang ini, polemik kepulangan seseorang dari Arab dan kegilaan-kegilaan Pilpres AS. Â Atau tentang hal-hal yang tak berguna, seperti topik artikel ini.
Kedua, jumlah pembaca artikel lebih sedikit. Soalnya otak Kompasianer lain juga perlu istirahat dari kegiatan membaca. Jadi wajarlah jika jumlah pembaca jadi sedikit. Â Kemungkinan pembaca yang sedikit ini adalah meteka yang sudah terlalu lama bekerja di rumah, sehingga tak bisa lagi membedakan hari Minggu dan hari-hari lainnya.
Alasan lain, pembaca juga sudah tahu bahwa artikel ysng ditulis pada hari Minggu mutunya rendah. Â Jadi untuk apa buang-buang kuota, waktu, dan energi untuk membaca sesuatu yang sia-sia. Â Tapi penulis lebih besar dosanya, karena menulis sesuatu yang dia sadar bermutu rendah.