Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #027] Tiga Babi dari Panatapan

6 November 2020   20:54 Diperbarui: 7 November 2020   13:26 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peristiwa Poltak tersangkut di tanduk kerbau dengan cepat tersebar dan menjadi olok-olok di Panatapan.   Agen utama penyebaran kisah memalukan itu siapa lagi kalau bukan Binsar dan Bistok.  Begitulah, jika ada hal buruk tentang diri seseorang tersebar cepat ke ruang khalayak, sudah pasti penebarnya orang terkarib.

Lebih buruk lagi, entah bagaimana caranya,  cerita itu menyebar pula ke kelompok Sekolah Minggu di Gereja Katolik Toruan. Kisahnya bahkan lebih mengerikan akibat distorsi.  Katanya, Poltak tertancap di tanduk kerbau tepat pada lubang anusnya.  Akibatnya, katanya, pantat Poltak menjadi blong bolong.

"Bah, malu kali pun aku," keluh Poltak pada Binsar dan Bistok. "Aku tak maulah ikut lagi latihan tonil," lanjutnya.    

"Bah, jangan begitulah kau, Poltak.  Peranmu di tonil itu penting kali," sergah Binsar.  

"Kalau kau tak mau ikut latihan, kami juga tak maulah," tambah Bistok. Itu tuah Perjanjian Hariara Hapuloan.

Dalam perayaan Hari Natal tahun ini, kelompok Sekolah Minggu Gereja Katolik Aeknatio akan memanggungkan tonil dengan lakon "Si Anak Hilang".  Kisah itu diambil dari perumpamaan tentang anak hilang dalam Kitab Injil.

Malam Natal, malam pemanggungan tonil, akan tiba lima hari lagi. Kalau sampai tiga sekawan itu mogok latihan, maka panggung tonil mereka bisa berantakan. Kendati hanya penampilan pembuka untuk tonil umat dewasa, tonil anak-anak itu penting untuk eksistensi Sekolah Minggu.

"Bah, rusak kalilah kalian. Aku ikut latihan terus, kalau begitu."   Keputusan Poltak disambut derai tawa Binsar dan Bistok.

Malam Natal yang dinanti telah tiba.  Warga Panatapan, Toruan dan Sosorlatong, mengalir ke gereja bersama, Gereja Katolik Aeknatio. Termasuk Poltak bersama kakek dan neneknya. 

"Poltak, kau sudah hapal peranmu dalam tonil nanti malam?"  Kakeknya bertanya, hendak memastikan, sesaat sebelum masuk gereja.  Kakeknya, seperti juga orangtua lain, tak pernah mau tahu peran anak  atau cucunya dalam tonil. Tahunya main tonil. Itu saja.

"Sudah, Ompung," jawab Poltak mantap. "Aku akan memainkan peranku dengan hebat. Agar ompungku bangga," tekad Poltak dalam hati.

Setiap Malam Natal adalah mukjizat. Gereja Katolik Aeknatio yang biasanya longgar, selalu penuh sesak di Malam Natal. Umat balita, anak-anak, remaja, muda, dewasa, dan lansia semua tumplak ke dalam gereja kecil itu. Kampung kosong dijaga anjing.  

Umat Gerjea Katolik Aeknatio selalu bersemangat tiap kali merayakan Natal, Hari Kelahiran Yesus Kristus. Terlebih seusai perayaan Malam Natal ada pertunjukan tonil. Itu yang paling ditunggu. Umat haus hiburan.

Begitulah. Setelah perayaan Malam Natal ditutup dengan berkat meriah dan lagu Natal, dan setelah lilin-lilin pohon Natal ludes direbuti anak-anak, tonil "Si Anak Hilang" siap dimainkan. Ruang altar telah disulap menjadi panggung tonil.

Ama Rumiris, Pak Porhanger, pelatih tonil, minta agar umat tenang.  "Cerita tonil ini diangkat dari Perumpamaan Anak Hilang yang diajarkan Yesus Kristus." Dia membabar garis besar cerita.

"Seorang bapak punya dua orang anak laki-laki. Anak bungsu meminta paksa hak warisannya. Lalu dia pergi menghilang ke negeri jauh untuk foya-foya. Akibatnya dia jatuh miskin, sampai harus berebut makanan dengan babi orang kaya. Menyesali kesalahannya, dia akhirnya pulang ke rumah. Bapaknya yang baik menerimanya dengan suka-cita."  

"Begitulah," Pak Porhanger menyudahi, "Sebesar apapun dosa kita, kalau kita bertobat, Allah Bapa di surga tetap menerima kita. Selamat menonton!"  

Tepuk tangan, suitan dan sorak-sorai sambutan dari umat penonton membahana dahsyat. Gereja telah berubah menjadi gedung pertunjukan. Hilang sudah kesakralannya.

Umat sebenarnya lebih menunggu penampilan anak-anaknya ketimbang kisah tonilnya. Karena itu, ketika layar dibuka, dan pemeran bapak dan ibu serta anak sulung dan bungsu tampil, keluarga mereka langsung bersorak menyemangati.

"Tongam, anakku! Libas!" Amani Tongam berteriak menyemangati anaknya yang memerankan Si Anak Hilang. "Itu anakku!" serunya bangga.

Entah apa pertimbangannya dulu, sehingga Pak Porhanger memilih Tongam menjadi pemeran utama, Si Anak Hilang yang sombong.  Padahal dari segi kemampuan peran, Tongam itu jauh di bawah Poltak. Setidaknya begitulah penilaian Binsar dan Bistok.

"Mentang-mentang Tongam itu keponakan Pak Porhanger." Binsar melampiaskan ketakpuasannya, saat Pak Porhanger mengumumkan pembagian peran di awal latihan. Poltak dan Bistok manggut-manggut merengut, tanda sekata. Diduga ada nepotisme di situ.

Peran itu membuat Tongam terbawa sombong. Terlebih terhadap tiga sekawan Poltak, Binsar dan Bistok.  Kekalahannya dalam adu kuat lawan kerbau, dulu pada perkara rebutan padang penggembalaan di lembah Holbung, dirasakannya terbayar sudah.

Sikap Tongam itu membuat dongkol hati Poltak, Binsar dan Bistok. Diam-diam, mereka sekongkol membalas dendam pada waktu yang tepat.

Layar panggung ditutup. Babak pertama tonil sudah usai.  Sebagai selingan, tarian anak-anak dipentaskan. Para orangtua hilir-mudik memberi sumbangan.

Sementara itu kakek-nenek Poltak, ayah-ibunya dan adik-adiknya mulai resah menunggu penampilan Poltak. Begitu pun  ayah-ibu dan kakak-adik dari Binsar dan Bistok. Mereka ingin juga bersorak menyemangati jagoannya.

Babak kedua dimulai. Layar panggung dibuka. Tampak Si Anak Hilang berpakaian compang-camping, melangkah terhuyung, membawa makanan babi dalam ember. Di pojok panggung, tiga ekor babi cemong, diperankan tiga anak laki, menguik dan mengiak berisik, tanda lapar.

"Poltak! Binsar! Bistok! Tiga babi dari Panatapan! Libas!" Tiba-tiba Ama Ringkot berteriak dari barisan belakang. Rupanya dia cepat mengenali tiga anak pemeran babi itu. Teriakan itu kontan mengundang gelak-tawa hebat seakan meledakkan gereja kecil itu.

"Jangan perdulikan. Ayo, hajar Si Tongam." Binsar berbisik menyemangati Poltak dan Bistok. Peran sebagai babi itu telah menjatuhkan harga diri mereka di hadapan Tongam. Pak Porhanger memang luar biasa.

"Bah, Poltak. Kenapa kau cuma jadi babi, amang. Dikebiri pula nanti kau," keluh Kakek Poltak, disambut tawa penonton.

Si Anak Hilang meletakkan ember makanan di depan tiga ekor babi itu. Saat latihan, ember itu kosong. Tapi sekarang ada isinya: delapan butir kue onde ketawa. Itulah pangkal kehebohan.

Binsar itu pengidap Sindrom Onde Ketawa, penggemar garis keras kue onde ketawa.  Dia rela melepas celana demi sebutir kue itu.  Soal itu tak diketahui Pak Porhanger. Dia agaknya terbilang gembala yang tak mengenal domba-dombanya dengan baik.

Demi melihat onde ketawa bergelimpangan di dalam ember, congok Binsar langsung melonjak ke level sepuluh. Kontan diraupnya empat butir. Poltak dan Bistok tak ketinggalan. Masing-masing kebagian dua butir. Layaknya babi congok, tiga sekawan itu menggerogot onde ketawa berdecap-decap.  

Sesuai tuntutan cerita, Si Anak Hilang berusaha keras merebut sebutir onde dari tangan Binsar. Tapi Binsar sedang menjadi babi rakus yang ogah berbagi. Digigitnya tangan Tongam tanpa ampun.

"Amangoi! Sakit kali!" Tongam Si Anak Hilang menjerit kesakitan. Air matanya menggenang. Tapi malu meraung.  

Gagal merebut onde dari tangan Binsar, Tongam beralih hendak merebut onde di tangan Poltak. Tapi sebelum menyentuh Poltak yang sudah pasang kuda-kuda babi, Bistok sudah keburu menyeruduknya. Tongam terpelanting dan terbanting ke lantai seperti pisang tumbang.  

Kali ini Tongam tak kuat lagi menahan amarahnya. Sambil meraung dia bangkit menerjang hendak meninju Bistok. Tapi tiba-tiba langkahnya terhenti. Seseorang mencengkeram kerah bajunya dari belakang.

"Hei, jongos jelek! Kau mau curi makanan babiku, ya! Dasar tak tahu diri! Kau kupecat! Pergi sekarang dari sini!"  Pemilik ternak babi, majikan Si Anak Hilang marah besar.  Si Anak Hilang diusir dengan kasar. Didorong sampai terpelanting.  Memang begitulah ceritanya.  

Tepuk tangan, suitan, dan sorak-sorai penonton membahana. Adegan perkelahian antara tiga ekor babi dan Si Anak Hilang itu sangat meyakinkan. Sangat nyata. Penonton ikut tegang. Terbawa emosi. Puas.

Perkelahian tiga babi dan Si Anak Hilang menjadi adegan terbaik dari tonil anak-anak Sekolah Minggu pada Malam Natal itu.  Menenggelamkan pamor tonil umat dewasa yang mengikut. Dalam perjalanan pulang ke rumah, adegan luar biasa itulah yang dibicarakan umat. Sambil memuji lakon Poltak, Binsar, Bistok dan Tongam.

Sejatinya, adegan spektakuler itu adalah pelampiasan ketakpuasan dan dendam Poltak, Binsar dan Bistok. Tapi tak seorang pun di antara umat Katolik Aeknatio yang tahu tentang itu. Tidak ada, kecuali tiga orang anak kecil,  Tiga Babi dari Panatapan. (Bersambung).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun