Saling mengerti isi kepala, Â tak berapa lama, Binsar dan Bistok bergabung dengan Poltak. Â Masing-masing membawa sekarung kecil gabah juga. Â Beriring meniti pematang menuju sawah Ama Ringkot.
"Bah. Â Ada apa kalian bertiga, bodat-bodat, datang ke sini," sambut Ama Ringkot. Â
"Mau bayar tunda ke kakek bodat." Hampir saja ujaran itu terloncat dari mulut Poltak.
"Mau menyerahkan tunda, Ompung," jawab Poltak sesantun mungkin. Â Adat Batak memang keterlaluan. Anak kecil dipaksa harus santun kepada orang tua yang tutur katanya tak santun.
"Oh, iya. Â Lain kali jaga kerbaunya, ya. Sini kalian."
Tiga sekawan itu saling pandang satu sama lain. Takada yang mau bergerak mendekati Ama Ringkot.Â
Saling tahu isi hati, serentak bertiga meletakkan gabah bayaran tunda, lalu seketika balik kanan siap kabur.
"Lari!" Â Poltak berteriak memberi aba-aba.Â
Ketiganya lari berlompatan dari satu ke lain pematang sawah. Â Melepaskan diri dari teror bau nafas Ama Ringkot.
"Oi, bodat! Jangan lari! Makan dulu! Masih ada gulai ayam!" Â Ama Ringkot berteriak.
Demi mendengar tawaran gulai ayam, Poltak, Binsar dan Bistok mendadak berhenti. Â Bertiga saling pandang. Â Tiga jakun kecil turun naik, meneguk liur terbit. (Bersambung).