Kakek Poltak diam seribu bahasa. Tak hendak menggeleng. Tidak juga mengangguk. Â
Begitulah orang Batak. Istri selalu tampil sebagai penentu kata akhir di  saat genting, bila itu tentang nasib anaknya. Tidak seorang pun dapat membantahnya. Tidak suaminya.
"Sudah! Tidur semua!" nenek Poltak menutup malam yang panas.
Parandum beranjak masuk ke dalam kamar tidurnya. Sambil berharap tipuan aksi bunuh dirinya akan berakhir manis. Â Memang kakek Poltak belum menyatakan persetujuan. Tapi nenek Poltak sudah mengambil keputusan. "Semoga ini tipuan cantik," bisiknya dalam hati.
"Poltak, jaga amangudamu itu." Kakek Poltak berpesan sebelum berangkat tidur. Suaranya datar, bergetar. Â Ekspresi kasih sayang pada anak dan kepercayaan kepada cucu.
Tengah malam. Â Derit pintu kamar Parandum, diikuti derak langkah kaki pada lantai papan, membangunkan Poltak dari tidurnya. Dia teringat pesan kakeknya tadi sebelum berangkat tidur. Â
Langkah kaki itu mengarah ke dapur. "Mati aku. Jangan-jangan amanguda mau ...." Pikiran buruk menyergap benak Poltak. Di kepalanya berkelebat bayangan  Parandum melompat bunuh diri, seperti kejadian tadi.  Â
Perlahan dia bangkit dari ranjangnya lalu, berjinjit tanpa suara, menguntit langkah Parandum menuju dapur. (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H