"Oee!" teriakan Binsar mulai parau dan melemah.Â
"Uee!" teriakan Bistok setali tiga uang. Â Lemah dan parau.
"Oi, mana suara kalian! Hahaha." Poltak tertawa lepas, puas. Kakeknya telah menemukan teknologi abal-abal, alat pengusir burung gelatik yang hebat. Dia memenangi perang pamuro pagi itu.
"Oi, Poltak. Â Tak acilah itu. Â Curang!" Binsar protes. Senjata abal-abal menurutnya tak aci, tak sah, illegal dalam perang pamuro. Â "Awas kau nanti!" ancamnya.
"Betul! Â Tak aci! Awas nanti!" Bistok ikut mengancam dengan teriakan paraunya. Â Parau separau-paraunya seperti koak serak gagak kurang tidur.
Kakek Poltak tersenyum simpul menikmati pertengkaran itu. Asap rokok lintingan mengepul dari mulutnya. Â Anak-anak kecil Panatapan selalu begitu. Â Main ancam tanpa alasan.
Sudah menjelang tengah hari. Â Rombongan gelatik sudah kembali ke sarang masing-masing. Perjuangan mendapatkan makanan gratis terlalu melelahkan untuk mereka. Â Perlu tidur siang, atau sekadar istirahat di sarang sejuk.
Saatnya juga para pamuro pulang ke rumah. Makan siang dulu. Nanti, menjelang sore, kembali lagi.
"Pulang! Lari!" Poltak berteriak, sembari melompat turun dari dangau. Â Segera dia berlari cepat menyusur pematang sawah. Dari arah barat, Binsar berlari memburu. Â Di utara,: Bistok, si kaki tampah, berlari terseok memotong jalur. Â
Perang udara berlanjut ke darat. Lomba lari pulang ke ke kampung. Cepat-cepatan tiba. Binsar dan Bistok tak mau kalah lagi. Â
"Binsar! Kejar aku kalau bisa!" Poltak  berteriak meledek. Binsar adalah rusa di padang rumput. Tapi di pematang sawah, Poltak adalah burung ayam-ayaman.(Bersambung) Â
Â