Daeng Khrisna, demikian saya menyapa rekan Khrisna Pabichara, kuduga menyeka airmata tangis haru tadi malam. Bukan karena bersedih hati. Bukan. Tapi semata karena teramat bunggah bahagia. Sajak anggitannya, "Pohon Duka Tumbuh di Matamu", tadi malam dibunyikan pianis Ananda Sukarlan lewat komposisi nada indah di denting pianonya, sementara syairnya didendangkan Widhawan Aryo Praditha dengan suara tenor yang menyihir.
Pak Tjip, demikian saya menyapa Tjiptadinata Effendi, sementara itu dirundung rasa khawatir yang tak sudah. Â Bukan karena jiwanya terancam. Â Bukan. Tapi karena banjir pujian dari Kompasianer telah merisaukannya. Dia khawatir banjir pujian itu membuatnya lena, lalu tercebur ke dalam kolam ria, lupa akan segala kebijak-bestarian.
Daeng Khrisna, Pak Tjip. Â Ya, ini memang bukan tentang Khrisna atau pun tentang Tjiptadinata. Â Ini tentang sapaan saya kepada Kompasianer. Â Daeng untuk Khrisna Pabichara, Â Pak untuk Tjiptadinata Effendi. Â Untuk Kompasianer yang lain, ada bermacam ragam: Mas, Bu, Ito, Anggi, Lae, Eja, Bli, Kang, Teteh, dan Uda. Â Ada juga Prof(esor), Prof. HC (Habulis Causa), dan Prov(okator).
Bagi saya, sapaan itu mencerminkan jarak sosial dengan orang yang disapa: jauh - dekat, berjarak -- akrab. Daeng, bagi saya, adalah pernyataan kedekatan, akrab. Â Begitulah jarak sosial yang saya alami saat ini dengan Khrisna. Â Sebelumnya, saya menyapanya Pak, lalu Mas, sampai akhirnya Daeng. Dengan menyapanya Daeng, saya telah menerima Khrisna Pabichara dengan menempatkan diri pada kerangka kulturalnya.
Begitu pun dengan Pak untuk Tjiptadinata. Â Karena usianya jauh di atas saya, maka saya lebih nyaman menyapanya Pak Tjip. Â Saya sapa Pak Tjip, bukan Pak Tjiptadinata Effendi atau Pak Tjiptadinata. Pemenggalan nama itu, menjadi Tjip saja, adalah pernyataan keakraban. Â Kalau saya memanggilnya Bapak Effendi, maka saya telah membuat jarak sosial yang jauh. Â Lain soalnya kalau saya menyapanya Kang Pepen, Â atau Mang Didi. Â Itu akrabnya sudah kebangetan.
Demikianlah sapaan-sapaan saya untuk sejumlah Kompasianer sejatinya mencerminkan kedekatan atau keakraban sosial. Â Semisal rekan-rekan ini: Â Bu (Rose)Lina, Mas (Ka)Ted(rajawen), Bu (Su)Prih(ati), Mas Susy, Prov(okator) Peb(rianov), Prof. Jo(hanis), Â Gui(do), Mas (O)Zy, Uda Zal(dy), Bu Fat(mi), Ju(andi), Mas Mei(rri), Mas (Si)Git, Bu Leya, Om G(gege), Mas (A)Ji, Mas Tonny, Daeng Rudy, Bli Ketut, Romo Greg(orius), Romo Bob(y), Prof HC Jati, Mas Jo(hanes) Kris(nomo), dan Ito Irmi(na). Â Itu hanya menyebut sebagian, untuk contoh.
Untuk merayakan keakraban saya dengan sejumlah Kompasianer, saya punya kebiasaan untuk menuliskan satu atau lebih artikel tentang mereka, entah itu artikel sanjungan atau sebaliknya risakan. Atau, jika tidak menulis artikel khusus, sekurangnya saya sempatkan menyebut nama mereka di dalam artikel saya. Â
Sebaliknya, Kompasianer juga menyapa saya secara beragam. Â Semisal Prof. Felix, Perof Felix, Engkong Felix, Pak Felix, Pak Tani, Ito Felix, Bang Felix, Mas Felix, Bapa Felix dan Amang Felix. Saya kira, itu mencerminkan perasaan mereka: sejauh atau sedekat apa dengan seorang FT.
Saya kira ada juga soal kepantasan. Bu Lina, sebagai contoh, memutuskan untuk menyapa saya dengan Mas Felix. Mau menyapa saya Pak Felix hanya, dan jika hanya, usia saya sudah di atas 80 tahun. Sementara itu Pak Tjip tetap konsisten menyapa saya Pak Felix, bukan Mas Felix. Nah, ketahuan, Bu Lina  dan Pak Tjip tak kompak.
Dengan segala sapaan itu, sejauh ini saya belum pernah diprotes rekan Kompasianer. Dalam hal ini, saya lebih beruntung ketimbang Pak Tjip yang pernah ditegur seorang Kompasianer berprofesi dosen, gara-gara Pak Dosen itu disapanya "Ananda". Rupanya Pak Dosen langsung hilang pamor di depan mahasiswanya lantara disapa "Ananda".
Barangkali banyak yang menganggap sapaan itu sebagai hal remeh-temeh. Tidak, kawan. Â Itu soal serius. Seperti sudah saya katakan tadi, sapaan itu mencerminkan jarak sosial. Selain itu juga mencerminkan penghargaan sosial kepada seseorang. Â Misalkan, seorang Kompasianer milenial menyapa Pak Tjip sebagai Koh Tjip, kira-kira perasaan Pak Tjip dan kita-kita yang sudah tua ini bagaimana, ya? Pasti ada perasaan tidak pas.
Kembali ke Daeng Khrisna, apakah dia benar-benar menitikkan air mata tadi malam? Â Saya pikir, kita harus sabar menunggu laporannya tentang konser Ananda Sukarlan itu. Â Jika dia bilang tidak menangis, maka kita harus bertanya, dengan cara bagaimana dia menganggit "Pohon Duka Tumbuh di Matamu." (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H