Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Minggu dan Pekan, Serupa Tapi Tak Sama

24 September 2020   13:26 Diperbarui: 20 Mei 2021   18:20 7774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam artikelnya, "Pekan dan Minggu di Mata Lema" (K.24/9/2020), rekan munsyi Khrisna Pabichara bilang dalam perkara waktu, pekan dan minggu sama saja.  Maksudnya sama-sama 7 hari dan sama-sama berawal di hari Minggu dan berakhir di hari Sabtu.

Betulkah?  Saya punya pendapat yang berbeda.  Saya bilang, "Berbeda."  Belum tentu yang benar.  Tapi perbedaan itu bagus jika dipertemukan, bukan? Seperti ikan di laut dan asam digunung bertemu dalam kuali.  Hasilnya? Hmm, selamat makan.

Saya mulai dari hal perujukan nama dan istilah. Nama hari Minggu (nama hari), istilah seminggu (jumlah 7 hari) dan istilah mingguan (kejadian 1 kali seminggu) merujuk pada Penanggalan atau Kalender Masehi  yang berlaku umum kini.

Baca juga : Akhir Pekan

Sedangkan istilah pekan (kejadian pasar) dan sepekan (jumlah 7 hari) merujuk pada tradisi gelar pasar besar di suatu jejaring komunitas.  Jumlah hari dalam sepekan ditetapkan 7 hari, merujuk pada jumlah 7 hari dalam seminggu pada Penanggalan Masehi.  

Dengan begitu, hari pekan besar selalu berulang tepat pada hari yang sama setiap 7 hari.  Itu sebabnya dikenal Pasar Senen, Pasar Selasa, Pasar Rebo, Pasar Kamis, Pasar Jumat, Pasar Sabtu dan Pasar Minggu. Semuanya menunjuk pada hari kejadian pekan (pasar) besar.

Tapi dalam masyarakat Jawa, hari pekan hanya ada lima dan selalu berulang setiap 5 hari. Sebutannya pancawara atau pasaran, terdiri dari paing -- pon -- wage -- kliwon -- legi/umanis.  Karena itu di kota-kota di Jawa ada Pasar Paing, Pasar Pon, Pasar Wage, Pasar Kliwon, Pasar Legi.

Kalau dalam masyarakat Batak Toba yang mayoritas Kristiani, hari pekan besar terjadi dalam 6 hari yaitu Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu. Hari Minggu adalah Hari Tuhan, tidak boleh ada kegiatan pekan besar.

Baca juga : Masih, tentang Kisah Satu Pekan

Jadi, seminggu dan sepekan memang sama-sama 7 hari, tapi tidak selalu berimpit harinya. Jika di satu komunitas lokal hari pekan besar adalah hari Rabu, maka hitungan hari sepekan di situ adalah Kamis-Jumat-Sabtu-Minggu-Senin-Selasa-Rabu.  Jadi, urutan hari dalam sepekan itu sesuai dengan konteks budaya lokal.

Semisal Poltak pada hari pekan, Sabtu, di pekan Tigaraja Parapat berjanji dengan Khrisna ngopi bersama lagi sepekan ke depan, itu berarti hari Sabtu depan, bukan Minggu.

Itu sebabnya saya bilang seminggu dan sepekan itu serupa tapi (tak selalu) sama.

Tak selalu sama, berarti bisa saja sama.  Ya, hari-hari dalam seminggu dan sepekan dimungkinkan berimpit sempurna jika hari pekan besar jatuh pada hari Minggu.  Ini terjadi dalam masyarakat yang mayoritas Islam, misalnya Melayu dan Betawi.  Ada Pasar Minggu.    

Lalu bagaimana dengan istilah "pekan seni-budaya" dan "Pekan Raya Jakarta"?  Jelas "pekan" di situ menunjuk pada "pasar", atau kegiatan "memasarkan" (karya seni-budaya, komoditas/barang).  Tak ada batasan durasi pelaksanaannya harus sepekan atau seminggu (7 hari).  Pekan Raya Jakarta itu berminggu-minggu lamanya.

Baca juga : Manusia dan Seni Budaya

Begitu pula dengan istilah "minggu tenang", saat mau ujian sekolah atau mau Pilpres.  Lamanya bisa 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10 hari atau lebih.

Lalu bagaimana dengan istilah pekan-pekan? Nah, ini istilah untuk angkutan pedesaan di Tanah Batak yang wara-wiri mengangkut penumpang dari dan ke pekan pada hari pekan besar. Kalau di Kupang, NTT dan Makasar, Sulsel disebut pete-pete.

Catatan ini saya tulis karena sudah kadung janji kepada rekan Khrisna Pabichara untuk menyampaikan perbedaan pendapat.  Tadinya saya mau tulis dalam bentuk humor. Tapi tidak jadi, karena ini bukan artikel serius. Humor itu serius (pakai) banget, lho.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun