Tapi Poltak sudah nyaris kehabisan tenaga. Â Benget juga. Â Perlahan-lahan lengan kanan Benget mulai bergerak mendekati sumbu putar as lesung.
"Ompung! Ompung!" Â Poltak dan Benget berteriak berbarengan. Â Mereka ketakutan. Putus asa.
Mendadak as lesung dan sumbu besi itu berhenti berputar. Â Tepat pada saat lengan Benget sudah menyentuhnya.
Rupanya nenek Poltak sudah menutup pintu saluran air pengerak kincir lesung. Â Aliran air berhenti, kincir bear itupun berhenti berputar. Â Selamatlah Benget.
"Sudah kubilang tadi, tidur! Â Bandel kalian!" Â Nenek Poltak memarahi kedua orang cucunya sekembali dari pintu air. Â Sambil dia memutar balik as lesung, sampai lengan baju Benget yang tergulung lepas.
"Sudah! Sana! Duduk di para-para!" Poltak dan Benget diam, tak hendak membantah perintah nenek yang sedang marah. Â Walau ada gerutu di batin Poltak, "Manalah bisa tidur di riuh alu bertalu-talu."
Berdua, mereka duduk di para-para. Sabar menunggu neneknya selesai menumbuk gabah dan menampi beras.
"Amangoi, sakit kali." Poltak mendadak menjerit saat neneknya meletakkan sekarung kecil beras di kepalanya. Mereka bersiap pulang dari Losung Aek.
"Apamu yang sakit?" Â Nada suara neneknya terdengar khawatir.
"Bahu kananku, ompung." Â
Rupanya, karena mengerahkan tenaganya habis-habisan menarik dan menahan lengan baju Benget tadi, persendian bahu kanan Poltak  bergeser. Awalnya dia tak merasa sakit.  Baru setelah beberapa waktu, rasa sakit itu datang mendera.