Poltak dan Bistok saling berpandangan. Mencoba menafsir maksud Binsar. Perjanjian macam apa pula yang digagasnya?
"Perjanjian apa? Â Perjanjian Baru?" Â Poltak minta kejelasan, sambil bergurau sedikit. Â Perjanjian Baru adalah nama lain untuk Injil.
"Bukan, Poltak! Â Padan! Antara kita bertiga," Binsar menjelaskan. Â Padan, adalah perjanjian atau ikrar antar individu dalam masyarakat Batak. Â Tanpa saksi mata, kecuali matahari di siang hari atau bulan di malam hari.
Poltak menoleh ke arah Bistok. Â Berharap satu ide darinya. Tapi Bistok pura-pura acuh. Â Sibuk memijat-mijat telapak kaki tampahnya.
Poltak mendongak, menatap ke pucuk hariara hapuloan. Â "Ini hariara keramat," dia membathin.
Hariara hapuloan, sepi sendiri, itu sebenarnya adalah pohon tetenger sebuah parhutaan, perkampungan, tua yang sudah ditinggalkan. Â
Orang Batak tempo dulu, jika membangun sebuah kampung, maka di sisi gerbang masuk akan ditanam sebatang anakan hariara. Jika dalam tempo tujuh hari anakan hariara itu tumbuh segar, maka itu pertanda boleh membuka kampung baru di situ. Â Jika mati, maka harus mencari lokasi lain.
Hariara di mulut kampung itu dikeramatkan. Â Pohon itu menjadi saluran komunikasi antara warga kampung dengan Mulajadi Na Bolon. Â
Jika warga kampung  mengharapkan suatu berkah, misalnya hujan, maka di bawah hariara itu akan diletakkan sesajen.  Lalu tetua kampung akan memanjatkan doa permohonan kepada Mulajadi Na Bolon. Â
"Perjanjian apa, Binsar. Â Serius kau. Â Tak boleh main-main di sini. Â Ini hariara keramat." Â Poltak mencecar Binsar.
"Begini. Â Kita bertiga sahabat karib, kan?" Binsar mulai menjelaskan maksudnya. Â Poltak dan Bistok mengangguk-angguk.