Menjadi seorang  Kenthirian, penganut mashab Kenthirisme, itu sungguh berat tanggungjawab sosialnya. Â
Betul seorang Kenthirian adalah penyimpang sosial. Tapi tidak berarti dia boleh menyimpang seenak udelnya. Â
Ada etika yang memagari. Penyimpangan itu harus dilakukan demi kemaslahatan bumi dan manusia.
Itu artinya seorang Kenthirian tabu mengujarkan dan atau melakukan hal-hal yang menyakiti bumi dan sesama.
Apa itu "menyakiti bumi dan sesama"? Saya tak perlu jawab. Â Silakan cari pengertiannya dalam Kitab Suci masing-masing.
Jadi, bila ada seseorang berperilaku menyakiti, dengan dalih kenthir, maka dia adalah penjahat berkedok penjahit. Ngomongnya bikin rapih, kelakuannya bikin ripuh.
Menjamin kemaslahatan bumi dan manusia itu tak menunjuk pada sesuatu yang harus besar. Tidak. Bisa saja, dan kebanyakan, hal-hal kecil.
Misalnya memicu tawa  orang lain lewat artikel humor. Itu hal kecil. Tapi sifatnya memaslahatkan, bukan?Â
Mengritik pemerintah, sambil menyebut Kitab Suci adalah fiksi, itu juga hal remeh. Tapi itu memaslahatkan karena menawarkan cara pikir yang menghibur.
Bagaimana kalau meletakkan peti mati berlabel "korban Covid-19" di pinggir jalanan Jakarta? Apakah itu tergolong aksi pemaslahatan warga? Â
Tidak, kawan. Â Itu tergolong pemuslihatan. Mengesankan kerja keras mengatasi Covid-19, padahal cuma kerja cemas. Ngakunya terapi kejut pada hal hatinya kecut.
Karena itu Gubernur Jakarta, penggagas instalasi  peti mati korban Covid-19 itu, tidak layak disebut seorang Kenthirian. Â
Saya harus menegaskan soal etika kenthirisme ini sebagai pengingat. Â Agar tidak ada Kompasianer yang ngaku-ngaku kenthir, lalu menulis dan menerbitkan artikel menyakiti bumi dan manusia.
Ngomong-ngomong, apa sih kenthirisme itu? Saya lupa, silahkan dicek di artikel saya terdahulu. Di sini saya cuma bermaksud menegakkan Etika Kenthirisme.
Koma.
Ngomong-ngomong, ada sejumlah Kompasianer yang mengaku kenthir karena, katanya, ketularan Felix Tani.Â
Itu masuk pasal pencemaran nama baik karena Felix Tani bukan sejenis virus. Â Ancamannya denda sebanyak 999 artikel di Kompasiana.
Titik.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H