Jantung saya nyaris copot mendapat pesan dari Ibu Roselina, belahan jiwa Pak Tjiptadinata. Â Pada hal saya tak punya riwayat penyakit jantung.
Kata Bu Lina, begitu saya menyapanya, Pak Tjip suaminya mendapat 'wahyu' dari saya, Felix Tani, sehingga mendadak fokus menulis humor.
Dituduh sebagai 'tuhan", sebab hanya 'tuhan' sumber 'wahyu", terang saja saya kelimpungan. Â Apalagi dituduh 'mewahyukan' humor kepada Pak Tjip. Â Bisa kualat ganda saya kalau itu benar. Â Kualat kepada Tuhan dan Pak Tjip sekaligus.
Kepada Bu Lina, dengan memelas, saya bilang ikhwal Pak Tjip mendadak humor itu bukan 'salah' saya. Pak Tjip sendirilah yang sudah "menjadi" (to be). Dia sudah tiba pada tahapan "menertawakan kehidupan sebagai resep panjang umur". Â Bukan hanya umur Pak Tjip. Â Tapi umur siapa saja yang membaca humor-humornya.
Sampai hari ini, dalam tiga hari berturut-turut, Pak Tjip sudah membagikan tiga nomor 'Humor Kehidupan"-nya di Kompasiana. Â Tiga-tiganya mengkili saraf geli hingga ke level 11. Â Padahal level geli itu normalnya maksimal 10. Begitulah akibatnya jika seorang maestro ber-humor-ria.
Tak percaya? Â Silahkan baca sendiri. Â Ketiga humor "gegar budaya" itu, berdasar pengalaman nyata, dijamin bikin terpingkal. Kalau tak tergelak juga, tolong periksakan diri ke dokter spesialis saraf geli. Â Atau, terimalah tuduhan penistaan terhadap humor.
Memang sudah saatnya Pak Tjip lebih banyak berbagi inspirasi hidup melalui jalan humor, jalan tawa yang menyehatkan jiwa-raga. Selama ini tulisan-tulisan Pak Tjip memang sarat permenungan hidup yang serius. Â Itu membuat pembacanya terpekur, kagum, atau bahkan lebay bersedih. Â
Kesannya, Pak Tjip itu sudah tua serius banget pula.  Dia ibarat seorang kakek atau bapak yang bercerita tentang  asam-garam kehidupan kepada para cucu atau anaknya.  Tidak ada cucu atau anak yang tertawa disuguhi asam dan garam, bukan?
Sikap serius Pak Tjip agaknya dipandu ilmu padi, "makin tua makin merunduk" (semoga bukan lantaran encok).  Tak mungkin karena dipandu ilmu keladi.  Sebab, setahu saya, Pak Tjip itu sangat takut kepada pepatah "tua-tua keladi".  Juga jeri kepada pepatah  "tua-tua talas (makin tua makin malas."
Menanamkan suatu nilai selalu lebih efektif  melalui jalan tawa ketimbang jalan muceng.  Itu sebabnya para pastor gemar menyelipkan humor dalam kotbahnya.  Sebab jika dia hanya membahas 5 ayat Injil secara serius, umat sudah tidur pada pembahasan ayat 3.
Tiga humor Pak Tjip yang sudah dibagikan itu, misalnya, mengajarkan kita tentang tata-krama dalam berhubungan sosial di negeri orang. Â Betapa kita harus memahami budaya masyarakat tempat kita berada sebagai minoritas. Sebagaimana kata leluhur, "Di situ kaki berpijak, di situ langit dijunjung."