Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gibran, "The Soloist"

26 Juli 2020   20:54 Diperbarui: 27 Juli 2020   11:18 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jujur, saya pengagum berat Gibran. Maksudku, Kahlil Gibran, penyair Libanon-Amerika yang sohor sejagad itu. Puisi-puisinya digandrungi para remaja Dead Poet Society di kala jatuh cinta. Untuk dikutipkan satu dua larik buat Sang Gebetan.  

Tapi ini bukan tentang Kahlil Gibran, penganggit syair Sang Nabi itu. Ini tentang Gibran Rakabuming Raka, pebisnis jasa boga dan tukang martabak dari Solo.  Menu andalannya adalah martabak Markobar. Rasanya, wah, saya belum pernah cicipi.

The Soloist, ini bukan tentang filem arahan Joe Wright (2009) yang berkisah tentang Nathaniel Ayers (Jamie Foxx), seorang pemain cello pengidap skizofrenia.   Ini murni tentang Gibran Rakabuming, asli orang Solo (Soloist), yang diperkirakan bakal menjadi kanditat tunggal (the soloist) dalam Pilwakot Solo 2020. Tolong jangan ada pula yang menyangkut-pautkan ini dengan Homo e. soloensis.

Gibran diramal akan menjadi The Soloist dalam Pilwakot Solo 2020 karena tak ada yang bernyali menantangnya.  Orang bilang, menantang Gibran itu sama saja dengan menantang adu lari putra mahkota kerajaan. Pelari tercepat seantero kerajaan sekalipun pasti kalah. Sebab di garis finis telah menanti hadiah "tiang gantungan" bagi siapa saja yang bisa mengalahkan putra mahkota. Emang, berani, loe?

Para tukang kritik spesial politik lalu menggerutu, "Wah, ini penegakan dinasti politik.  Tidak etis!" Kritik itu diketapelkan ke kuping Pak Jokowi, ayah kandung Gibran. Jangan ada yang pura-pura tidak tahu Gibran itu kini statusnya putra sulung Presiden RI, Jokowi. Tadinya, sih, dia putra sulung tukang mebel.

Dalih etika dipakai sebagai amunisi karena alasan nepotisme mati gaya. Tak bisa dibuktikan secara hukum bahwa Jokowi telah menyalah-gunakan kekuasaannya (abuse of power) untuk mendukung pencalonan Gibran.  
Hanya bisa dikatakan bahwa Gibran telah memanfaatkan pengaruh besar (abundance of power)  ayahnya sebagai modal politik.

Itu sih bukan nepotisme tapi mumpungisme. Kira-kira perkaranya serupa dengan caleg memasang foto bapak atau kakeknya yang kondang sebagai latar belakang foto dirinya pada spanduk kampanye. Atau seperti tukang dakwah meminjam wibawa Kardinal yang diaku ayahnya.

Berharap politisi negeri ini peduli etika sama saja mengharap lele mencukur misainya. Apalagi etika yang disodorkan para pengeritik itu etika politik demokrasi liberal Barat. Itu hanya berlaku pada struktur dan kultur politik yang sama-sama rasional.  

Di negeri ini struktur politiknya saja yang rasional. Sementara kulturnya primordial atau bahkan feodal. Di sini seseorang bisa mendadak anggota DPR atau ketua partai karena sangat disayang orangtuanya.  

Para pengeritik mestinya sadar, etika politik Barat itu sesuatu yang traumatis bagi bangsa ini. Dulu penjajah Belanda pernah berbaik budi bikin Politik Etis pasca Tanam Paksa di sini. Baik budi tapi tetap menjajah. "Baik nenek, loe," mungkin begitu sembur Ahok. Belanda ngelus kepala sembari nginjek lidah kaki macam bikin ayam penyet, baik budinya di mana, coba.

Jadi kalau tak mampu merumuskan etika politik khas konteks Indonesia, ya sudah, duduk manis saja.  Untuk sementara terima saja dulu bahwa mumpungisme itu etis secara politik praktis.  Tak usah teriak-teriak,  "Itu menyimpang dari teori Barat."  Itu sama saja dengan rewelan, "Ini martabak Markobar kok nggak sepedas Pizza Italiano, ya."  

Tak perlu pula menghasut orang untuk menghajar politisi mumpungisme, seperti Gibran The Soloist itu, melalui pemenangan "kotak kosong". Itu namanya membodohi rakyat. Sejak kapan, sih, "kotak kosong" bisa menang atas "kotak berisi"?  Yang benar itu "kotak tanpa nama".  Pencipta istilah "kotak kosong" itu pasti tidak pernah lulus ujian Bahasa Indonesia.  

Terhadap Gibran, pilihannya sederhana saja, terima atau tolak.  Jika menerimanya maka berdoalah kepada Tuhan.  Semoga Tuhan memberinya karunia hikmah kebijaksanaan, seperti dulu Raja Salomo muda. Jangan bilang doa ini lebay. Doa itu rujukannya menang Kitab Suci, bukan Undang-Undang Dasar atau KUHAP.  

Kalau menolak Gibran, tak perlu pula unjuk rasa berjilid-jilid.  Film animasi Doraemon sudah mengajarkan empat cara menolak seorang Soloist dadakan pada episode Giant yang maksa nyanyi. Menutup kuping seperti Nobita; pura-pura kagum seperti Suneo padahal perutnya mules; mengeluarkan alat penghilang suara dari kantong ajaib seperti Doraemon; pasang baling-baling bambu di ubun-ubun lalu terbang kabur.

Tak ada yang terlalu sulit di dunia yang diciptakan Tuhan bundar, bentuk paling sederhana. Maksud Tuhan, barangkali lho, otak manusia yang bundar itu janganlah dibikin jadi persegi tak beraturan.  Ntar, loe pusing ndiri.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun