Tapi Kompasiana adalah satu-satunya media literasi publik yang saya akses setiap hari. Saya sempat baca tiga artikel, karena tahu siapa penulisnya. Lainnya, mohon maaf, saya tidak baca karena, seperti sudah saya bilang, saya sudah pada kondisi "muak sosial".
Polusi literasi seperti itu bukan yang pertama di Kompasiana. Sebelum kasus  ujaran dungu "klepon tidak Islami", sudah pernah ramai juga soal ujaran dungu "Lagu Balonku anti-Islam" dan "Ustad lulusan S3 Vatikan". Â
Sadar atau tidak, atau justru gegap-gempita (?), kendati motifnya mungkin untuk "meluruskan yang salah", Kompasianer telah ikut menjadi agen penularan "virus" idiotisme atau ujaran dungu, khususnya yang bermuatan SARA. Â Pada saat bersamaan Kompasiana juga telah menjadi wahana eskalasi pandemi idiotisme. Â
Harus diakui saya sendiri dulu, sebelum masuk tahap "muak sosial", sempat juga terseret sebagai agen penular virus itu.  Walaupun dibungkus dengan dalih klarifikasi atau pelurusan, tetap saja saya telah ikut mendiseminasi  ujaran dungu. Hal yang kemudian saya sesali.
Saya hanya punya keinginan, boleh juga disebut mimpi, Kompasianer tidak menjadi agen penularan virus idiotisme atau ujaran dungu. Â Juga ingin Kompasiana tidak menjadi klaster atau wahana eskslasi pandemi idiotisme. Â
Intinya saya ingin Kompasiana bersih dari polusi literasi. Â Dia tidak berubah menjadi bagian dari kekuatan penggalak idiotisme, kekuatan pendunguan bangsa. Hanya Admin K dan Kompasianer yang mampu mewujudkan keinginan itu. Â
Apakah saya terlalu mengada-ada soal virus idiotisme dan polusi literasi ini? Dan apakah keinginan saya berlebihan?(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H