Batak itu, oleh zending Jerman dan kemudian penjajah Belanda tahun 1800-an, secara pejoratif diartikan "pengembara, penyamun". Pokoknya Batak dimaknai sebagai orang pedalaman yang liar, tak berbudaya, sehingga harus dijinakkan, diadabkan.
Caranya? Ya, melalui Kristenisasi, konversi paganisme Batak ke agama samawi oleh zending. Â Lalu, kemudian, lewat penjajahan Belanda, mengubah sistem pemerintahan asli "tanpa negara" Batak menjadi birokrasi pemerintah Kolonial. Itulah yang disebut koalisi injil dan bedil.
Orang Batak (Toba) kemudian memang menjadi tertata rapih secara sosial, di bawah pengaturan organisasi Gereja Protestan dan birokrasi pemerintahan legal-formal. Â Itu kurang lebih seperti masyarakat pedesaan Belanda dan atau Jerman. Â
Tapi stigma yang disematkan orang-orang Bule itu, bahwa Batak itu "liar tanpa adab", keras hati dan kepala, tak dengan sendirinya lekang. Â Malahan stigma "Batak itu keras" kemudian diterima sebagai stereotipe, citra penciri sosial. Bangga pula dengan citra itu. Padahal citra semacam itu jauh banget dari arti kata Batak yang sebenarnya: Penunggang Kuda.
Begitulah. Â Batak kemudian dicitrakan dan dipahami sebagai "orang keras." Sehingga timbul ujaran pejoratif, "Orang Batak itu keras." Ditambah praduga mengada-ada, "Mungkin karena makan daging B1 dan B2, ya." Â
Tapi benarkah orang Batak identik dengan sifat "keras"? Â Masa, sih, setelah sekitar seabad sejak invasi Belanda tak ada perrubahan karakter sosial Batak? Ini pertanyaan menarik untuk dibahas. Â
***
Memberi komentar atas artikel saya, "Hei Admin K, Loe Bisa Gak Nulis Artikel! (K.9.7.20), rekan Kompasianer Gurgur Manurung menilai isi artikel itu "terlalu keras". Â Bisa bikin para Kompasianer pemula susah bangkit, katanya.
Secara bergurau saya menanggapi, "Kalau orang Medan sudah bilang artikel ini keras berarti memang benar keras." Sambil menambahkan bahwa kiritik saya dulu untuk Admin K ada yang jauh lebih keras lagi.
Tak urung saya membathin juga, "Apakah orang Batak masa kini perasaannya sudah lebih halus? Tidak lagi keras dan kasar?" Â Sebab yang ngomong itu seorang Gurgur Manurung, seorang putra Batak Toba yang lahir dan besar di Tanah Batak sana.
Respon rekan Gurgur (Bah. Ind, mendidih, membara) menuntun saya pada ingatan tentang kisah Poltak awal 1990-an. Â Setelah 10 tahun merantau sekolah dan kerja di Jawa, Barat dan Tengah, dia pulang kampung ke Panatapan Tanah Batak untuk pertama kalinya.
Pada hari kedua pulang kampung, di waktu sore, Â dia pamit pada ibunya untuk cengkerama ke lapo tuak Ama Lamhot, langganannya dulu. Tapi belum genap satu jam lamanya, Poltak sudah kembali ke rumah. Â
Ibunya terheran-heran bertanya, "Bah, kenapa cepat kali kau pulang, Poltak." Seingatnya, dulu, bukan kebiasaan Poltak pulang dari lapo tuak di bawah pukul 9.00 malam. Â
"Ah, tak kuat jantungku, Mak. Â Keras-keras kali orang-orang di lapo tuak itu bicara," jawab Poltak sambil menghenyakkan diri di kursi.
"Bah, kelamaan di Jawa sudah jadi macam orang Jawa kau rupanya," simpul ibunya sambil memasukkan "ikan sampah" ke penggorengan.
"Betul juga kata Mak aku ini. Â Rupanya kelembutan orang Sunda dan orang Jawa sudah merasuki jiwaku pula." Poltak membathin mengamini simpulan ibunya.
Saya menduga, seperti halnya Poltak, rekan Gurgur juga sudah mengalami "penghalusan rasa" di perantauan. Â Untuk menguatkan dugaan ini saya coba periksa profilnya. Â Ya, dia memang pernah kuliah di Riau, Bogor dan Jakarta. Â
Pergaulan intensifnya di rantau dengan etnis Melayu, Sunda dan Jawa, disadari atau tidak, mungkin telah mengasah rasa rekan Gurgur, sehingga dia menjadi lebih halus dibanding umumnya orang Batak di Tanah Batak sana.
***
Saya hanya berhipotesis tentang penghalusan rasa pada kasus Poltak dan Gurgur. Â Terbuka kemungkinan untuk menyangkalnya, khususnya dari tekan Gurgur. Â Sebab bisa saja dia memang sudah halus rasa sejak lahirnya.
Hipotesis itu mempersyaratkan interaksi budaya secara intensif antara etnis Batak dan etnis lain. Â Dalam kasus Poltak berarti interaksi langsung dengan etnis Sunda dan Jawa yang dipersepsikan punya karakter "halus" atau "lembut". Sekurangnya jika diperbandingkan dengan etnis Batak.
Interaksi sosial itu memungkinkan terjadinya proses akulturasi di pihak Poltak. Â Dia mencerap, menginternalisasi, nilai-nilai "kehalusan rasa" dari orang-orang Sunda dan Jawa di lingkungan sosialnya, sebagaimana tercermin dari perilaku mereka sehari-hari. Demikianlah Poltak, diperkaya budaya Jawa, tumbuh menjadi orang yang 'isa rumangsa", misalnya.
Tentu ada syarat untuk bisa mengalami akulturasi seperti itu. Â Seseorang harus mengalami dan menikmati menjadi Indonesia lebih dulu. Â Artinya, seperti Poltak, di Jawa Barat dia tinggal seatap dengan orang Sunda. Di Jawa Tengah dia tinggal seatap dengan orang Jawa.
Akulturasi tidak akan terjadi jika Poltak datang ke Jawa, tapi lalu tinggal di kantong-kantong komunitas Batak. Â Artinya dia menolak interaksi intensif dengan etnis lain. Â Akibatnya dia tidak akan bantak berubah secara kultur. Â Tetap saja menjadi "Batak keras" atau "Batak kasar".
Menjadi Indonesia bagi Poltak adalah menjadi bagian integral dari etnis-etnis lain di tanah tempat dia hidup. Â Dalam hal ini etnis Sunda dan Jawa. Menjadi Indonesia baginya adalah mencerap hal-hal baik dari kultur Sunda dan Jawa. Salah satunya adalah kehalusan rasa, kelembutan jiwa. Â
Ibunya bilang Si Poltak sudah menjadi orang Jawa. Â Tapi Poltak bilang dirinya tetap orang Batak tulen, tapi dengan pengayaan kehalusan rasa dan kelembutan jiwa dari orang Jawa.
Seperti telah saya bilang tadi, perihal penghalusan rasa orang Batak di rantau Jawa ini adalah hipotesis. Â Apakah bebar demikian, tentu perlu dibuktikan melalui studi kualitatif mendalam. Â Siapa yang berminat melakukannya?(*)
*)Dengan permohonan kepada rekan Kompasianer Gurgur Manurung untuk membolehkan dirinya diangkat sebagai kasus dalam artikel ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H