Ibunya terheran-heran bertanya, "Bah, kenapa cepat kali kau pulang, Poltak." Seingatnya, dulu, bukan kebiasaan Poltak pulang dari lapo tuak di bawah pukul 9.00 malam. Â
"Ah, tak kuat jantungku, Mak. Â Keras-keras kali orang-orang di lapo tuak itu bicara," jawab Poltak sambil menghenyakkan diri di kursi.
"Bah, kelamaan di Jawa sudah jadi macam orang Jawa kau rupanya," simpul ibunya sambil memasukkan "ikan sampah" ke penggorengan.
"Betul juga kata Mak aku ini. Â Rupanya kelembutan orang Sunda dan orang Jawa sudah merasuki jiwaku pula." Poltak membathin mengamini simpulan ibunya.
Saya menduga, seperti halnya Poltak, rekan Gurgur juga sudah mengalami "penghalusan rasa" di perantauan. Â Untuk menguatkan dugaan ini saya coba periksa profilnya. Â Ya, dia memang pernah kuliah di Riau, Bogor dan Jakarta. Â
Pergaulan intensifnya di rantau dengan etnis Melayu, Sunda dan Jawa, disadari atau tidak, mungkin telah mengasah rasa rekan Gurgur, sehingga dia menjadi lebih halus dibanding umumnya orang Batak di Tanah Batak sana.
***
Saya hanya berhipotesis tentang penghalusan rasa pada kasus Poltak dan Gurgur. Â Terbuka kemungkinan untuk menyangkalnya, khususnya dari tekan Gurgur. Â Sebab bisa saja dia memang sudah halus rasa sejak lahirnya.
Hipotesis itu mempersyaratkan interaksi budaya secara intensif antara etnis Batak dan etnis lain. Â Dalam kasus Poltak berarti interaksi langsung dengan etnis Sunda dan Jawa yang dipersepsikan punya karakter "halus" atau "lembut". Sekurangnya jika diperbandingkan dengan etnis Batak.
Interaksi sosial itu memungkinkan terjadinya proses akulturasi di pihak Poltak. Â Dia mencerap, menginternalisasi, nilai-nilai "kehalusan rasa" dari orang-orang Sunda dan Jawa di lingkungan sosialnya, sebagaimana tercermin dari perilaku mereka sehari-hari. Demikianlah Poltak, diperkaya budaya Jawa, tumbuh menjadi orang yang 'isa rumangsa", misalnya.
Tentu ada syarat untuk bisa mengalami akulturasi seperti itu. Â Seseorang harus mengalami dan menikmati menjadi Indonesia lebih dulu. Â Artinya, seperti Poltak, di Jawa Barat dia tinggal seatap dengan orang Sunda. Di Jawa Tengah dia tinggal seatap dengan orang Jawa.
Akulturasi tidak akan terjadi jika Poltak datang ke Jawa, tapi lalu tinggal di kantong-kantong komunitas Batak. Â Artinya dia menolak interaksi intensif dengan etnis lain. Â Akibatnya dia tidak akan bantak berubah secara kultur. Â Tetap saja menjadi "Batak keras" atau "Batak kasar".