Beli barang rusak? Â Mengapa tidak. Memangnya kalau belanja di pasar loak, kita beli barang apaan. Barang rusak, bukan? Cuma barangnya sudah dipoles di sana-sini. Jadi kelihatan rada genah. Tapi tetap saja namanya "barang rusak" (yang sudah diperbaiki).
Barang rusak juga harganya mahal. Â Coba pergi ke pasar loakan Triwindu Solo. Â Cari lampu gantung antik. Siap-siap aja balik badan karena harganya mahal banget, walau sudah ada cacatnya.
Atau coba pergi ke pasar perabotan bekas di Ciputat Tangerang. Â Untuk sebuah peti tua kayu jati ukuran kecil, yang sudah gompel sana-sini dan patah engselnya, siap-siaplah mengeluarkan uang dua jutaan rupiah.
Begitulah. Â Barang sudah rusak. Â Tapi tetap saja dibeli dengan sukaria. Mengapa?
***
Saya akan coba jawab pertanyaan itu dengan kisah pengalaman Poltak membeli celana pendek berbahan kain tenun ikat Flores di Maumere tahun 1990.
Waktu itu Poltak, pada suatu sore hari, berdua dengan seorang turis pria bule, sibuk memilih-milih celana pendek berbahan tenun ikat di sebuah toko souvenir.
Mereka sama-sama tertarik pada celana pendek dengan motif sama. Â Ada dua potong. Satu bagus, satunya lagi ada bolongannya di pipa kiri. Â Harganya sama, Rp 25,000. Â Â
Ndilalah, turis bule itu memilih celana yang ada bolongnya. Â Katanya, "Dengan bolongan ini, mungkin saya bisa dapat potongan harga." Â Ya, sudah. Â Poltak mengambil celana yang bagus.
Sewaktu membayar di pemilik toko merangkap kasir, turis bule itu minta potongan harga atas cacat bolong pada celana.
"Tidak ada potongan," kata pemilik toko. Â "Harga duapuluh lima ribu rupiah itu sudah murah. Kalau tidak mau, ya, sudah."