Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Mengapa Ukuran Makam 2 x 1 Meter?

28 Juni 2020   13:51 Diperbarui: 29 Juni 2020   09:54 8623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Buat apa beli tanah ribuan hektar.  Nanti kalau mati perlunya cuma tanah  2 x 1 meter." Itu pertanyaan heran seorang tunakisma tentang perilaku para spekulan tanah.  Si Tunakisma ini lupa bahwa orang perlu juga hidup enak sebelum mati.

Dengan tanah 2 x 1 meter itu maksud Si Tunakisma  adalah petak makam. Sebenarnya tidak persis 2 x 1 meter. Itu pembulatan ukuran rata-rata. Di Taman Pemakaman Umum  (TPU) Jakarta gundukan makam kurang-lebih hanya 1.8 x 1.8 meter. Tapi liang lahatnya bisa 2 x 1 meter, atau maksimal 2.5 x 1.5 meter.

Begitulah.  Setiap kali Poltak, tokoh fenomenal kita,  ziarah ke TPU Kampung Kandang, Jakarta Selatan, dia selalu takjub memandang keseragaman ukuran makam di sana.  Pikirnya, keadilan sosial ternyata terwujud juga di Indonesia. Tapi setelah ajal datang menjemput.

Semasa hidupnya, para jenazah yang dibaringkan di TPU Kampung Kandang itu hidup di rumah-rumah yang beda ukuran dan mutu. Mulai dari tipe rumah kecil sangat sahaja di pinggir kali atau rel kereta api tempat tinggal Si Miskin.  Sampai tipe rumah besar sangat mewah di Bukit Hill tempat tinggal Si Kaya.

Tapi soal keadilan sosial di kuburan itu mungkin perlu dikritisi juga.  Dalam suatu perbincangan dini hari di TPU Tanah Kusir, dua arwah miskin bilang pada satu arwah kaya bahwa mereka sekarang sama rasa sama rata tinggal di petakan 2 x 1 meter.  "Sembarangan, loe.  Petak gue kan ada di bukit seperti dulu semasa hidup.  Sementara loe tetap di pinggir kali dan loe tetap di pinggir rel," tukas arwah kaya.

Lupakan debat antar arwah itu. Mari kembali ke topik diskusi. Mengapa ukuran makan 2 x 1 meter?

Faktual, sebenarnya tidak semua 2 x 1 meter.  Poltak tahu ada  "Kuburan Cina" yang ukurannya besar-besar. Dia pernah melihat areal kuburan semacam itu di Pematang Siantar tahun 1970-an.  Bangunan makamnya besar, bagus dan asri. 

Tak heran jika komplek "Kuburan Cina" itu dulu kerap didaya-gunakan muda-mudi sebagai arena pacaran. Karena lebih mewah dan asri ketimbang rumah sendiri.

Tapi itu dulu.  Sekarang pemerintah sudah membatasi ukuran liang lahat. Lahan lebih diperlukan untuk menyokong kelangsungan hidup manusia. Untuk tapak rumah dan kegiatan ekonomi. Bukan untuk mendukung kematian.

Sebab manusia hidup saja susah bukan main mendapatkan tanah seukuran 2 x 1 meter untuk tapak "gubuk derita".  Masa untuk orang mati di sediakan tanah 5 x 4 meter misalnya? Itu kan cukup untuk membangun rumah Tipe-21 minus?

Di Jalan Ampera Raya Jakarta Selatan, Poltak kerap melihat satu "keluarga gerobak".  Suami, isteri dan tiga anak kecil yang tidur dalam satu gerobak ukuran sekitar  1.8 x 0.8 meter. Ukuran gerobaknya persis ukuran kuburan.  Pikir Poltak, orang ini kelak tidak akan kaget lagi saat tiba waktunya masuk liang kubur.  Sebab sudah terbiasa semasa hidupnya.

Kembali ke persoalan ukuran kuburan. Mengapa rata-rata 2 x 1 meter?  Bagi Poltak, jawaban pemerintah kiranya sudah jelas: alasan keterbatasan lahan. Demikian pula jawaban aktivis sosial: alasan keadilan sosial. Juga jawaban keluarga mendiang: KISS, keep it small simple,  murah sewanya gampang ngurusnya.

Misteri bagi Poltak adalah jawaban para arwah di TPU Kampung Kandang atas pertanyaan itu.  Kira-kira dari perspektif orang mati, alasannya apa, ya ukuran makam 2 x 1 meter.

Untuk itu Poltak mencoba cari jawaban dengan cara berempati pada orang mati.   Di luar dugaan, jawaban satu arwah mantan anggota DPR sangat mengejutkan sekaligus realistis: "Lho, makam ini kan cuma tempat untuk tidur selamanya hingga kembali menjadi debu.  Bukan tempat untuk lintasan balap Formula E menghasilkan debu bagi warga Jakarta."(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun