Mereka tidak peduli social distancing dan physical distancing, karena gak ngerti Bahasa Inggris.
Mereka ngertinya "jaga jarak". Dan itu dipraktikkan saat naik motor di jalan raya. Tak jaga jarak, muke lu nyium pantat besi truk matrial.
Ibadah memang sempat di rumah masing-masing. Tapi lama-lama orang kembali ke masjid juga. Katanya sih di dalam mereka jaga jarak. Mudah-mudahan disiplin, agar selamat.
Jika ada yang bau-bau "normal baru" di Gang Sapi, maka itulah warung bakso di mulut gang. Si Abang Bakso merentangkan tali rafia di pintu warung, sehingga pelanggan hanya boleh berkerumun antri "pesan bungkus" di depan pintu.
Warteg? Business as usual. Tetap melayani pelanggan makan di dalam warung. Konsumen duduk makan jauh-jauhan. Kalau lagi gak ramai.
Di Gang Sapi memang belum ada PDP dan ODP. Mudah-mudahan seterusnya demikian. Semoga warga gang ini dilindungi Tuhan Yang Maha Kuasa.
Jika melihat kehidupan sehari-hari warga gang ini, yang hampir sepenuhnya tak sesuai protokol pencegahan Covid-19, suatu keajaiban bahwa tak ada warga yang terpapar corona.
Padahal Gang Sapi ini berada di "kelurahan merah", menurut peta persebaran pandemi Covid-19 Provinsi DKI Jakarta. Aplikasi PeduliLindungi selalu mengingatkan "Anda berada di Zona Merah". So, what? "Kami tinggal di sini, bung!"
Jadi, ketika Pak Jokowi bilang Indonesia bersiap memasuki masa "normal baru", tak ada relevansinya itu dengan kondisi Gang Sapi. Di sini "normal lama" masih berlaku sampai kini.
Kenapa? Karena tidak ada "revolusi Covid-19" di gang ini: tidak ada PDP, tidak ada ODP, dan dengan sendirinya tidak ada korban meninggal dunia lantaran terkena Covid-19.
Gang Sapi ini adalah "enklaf hijau" di Zona Merah Covid-19 Jakarta. Entah bagaimana penjelasannya kok ya bisa seperti itu.