Bagaimana mau ada "normal baru"? "Revolusi" yang menyingkirkan "normal lama" tak pernah ada. Itu kalau merujuk struktur revolusi menurut T. Kuhn.
Tak banyak yang berubah di Gang Sapi, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Sejak hari pengumuman Indonesia terpapar Covid-19 sampai pemberlakukan PSBB hingga perpanjangan sekarang.
Ibu-ibu tetap kumpul-kumpul, bergosip dalam jarak rapat. Ya, sudah pasti gosip perlu jarak dekat. Sebab volume suara diperkecil. Kalau ngomong jauh-jauhan, saling teriak nyablak, itu bukan gosip lagi tapi bertengkar.
Banyak yang digosipkan. Tapi isu paling hot sekarang adalah bantuan sosial. Kelompok gosip adalah tempat kepo terbaik. Silap gosip, silap bantuan. Gak kebagian.
Bergosip tanpa masker pula, itu pasti. Kalau pakai masker, kan nggak seru. Bergosip itu harus ekpresif. Cibiran, senyum sinis, bibir manyun harus tampak diekspresikan. Kalau ketutup masker, kan nggak seru.
Habis ibu-ibu, terbit giliran bapak-bapak. Heran, bapak-bapak Gang Sapi ternyata doyan gosip juga.
Dulu tidak sekerap sekarang. Sejak Jokowi minta warga "di rumah aja", bapak-bapak Gang Sapi mendadak rajin gosip.
Macam-macam digosipkan. Mulai dari Covid-19, mudik, PSBB, sampai bansos.Untungnya pandemi Covid-19, katanya, "Kita dapat jatah bansos." Ampun, deh.
Pakai maskerkah bapak-bapak itu? Lebih kerap tidak. Atau pakai masker, tapi cuma digantungkan di sebelah telinga. Atau ditarik ke bawah dagu, atau ke jidat. Entah apa yang dimaskeri di situ.
Seorang bapak berdalih, tidak mau pakai masker lagi. Katanya lama-lama kupingnya jadi tambah caplang ketarik tali masker. Kata temannya, itu hoaks, sebab kupingnya sudah caplang sejak lahir.
Anak-anak dan para remaja, nah, ini yang paling sudah di atur. Tetap saja berkerumun di mulut gang, main kejar-kejaran, begadang sambil ngobrol dan merokok di depan gerbang rumah.