Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pertanian, Solusi Pangan dan Kemiskinan di Masa "Normal Baru"

6 Juni 2020   14:23 Diperbarui: 7 Juni 2020   06:24 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertanian pangan akan menghadapi  tantangan terberat memasuki masa "normal baru" atau masa "berdamai dengan Covid-19".    

Dua harapan besar ditumpukan padanya. Pertama, menyediakan stok pangan untuk mencukupi kebutuhan domestik.  Sebab opsi impor pangan, antara lain dari Vietnam, Thailand dan India, akan terkendala kebijakan karantina wilayah dalam rangka pengendalian Covid-19.

Kedua, menyerap arus-balik tenaga kerja dari kota ke desa yaitu para korban pemutusan hubungan kerja (PHK) dari sektor industri dan jasa yang "rehat" terdampak Covid-19. Ditambah pelaku ekonomi informal kota yang pulang kampung karena peluang usaha/kerja yang ikut meredup.

Inisiatif  pemerintah terkait pembangunan pertanian dalam masa pandemi dan normal baru sejauh ini adalah, pertama, pemotongan anggaran Kementan (APBN 2020) yang berisiko menciutkan volume kegiatan pembangunan pertanian pangan. 

Lalu, kedua, sebuah solusi jangka menengah yaitu inisiasi sinergi BUMN dan Kementan mencetak sawah untuk antisipasi krisis pangan terkait dampak Covid-19.  

Dua inisiatif tersebut bukan jawaban tepat untuk dua harapan di atas. Karena itu suatu strategi yang lebih relevan perlu segera dirumuskan untuk dilaksanakan secara konsisten. 

Sehingga pertanian dan pedesaan tidak menjadi "bom waktu" keresahan yang dapat berujung kerusuhan sosial.  

Sinergi Intensifikasi Pertanian Pangan
Inisisasi sinergi cetak sawah antara BUMN dan Kementan adalah respon terhadap arahan Presiden Jokowi dalam Ratas Kabinet tanggal 28 Maret 2020.  Tujuannya mengantisipasi krisis pangan akibat pandemi Covid-19. 

Menurut presiden sekarang sudah mulai terjadi defisit bahan pangan di sejumlah provinsi.   Antara lain gula pasir (30 provinsi), jagung (11 provinsi), dan beras (7 provinsi).  

Namun indikator krisis pangan untuk Indonesia sebenarnya adalah defisit stok beras. Jika defisit beras hanya di 7 provinsi maka untuk saat ini belum terhitung krisis, sejauh volume stok nasional mencukupi untuk distribusi beras dari daerah surplus ke daerah defisit.  

Tapi stok beras akhir tahun ini memang diperkirakan defisit, kendati untuk Juni 2020 Menteri Pertanian menyebut ada suplus beras 6.45 juta ton. Penyebabnya adalah kemungkinan  penurunan kontribusi panen musim gadu dari 35% menjadi 25%, atau hanya 8 juta ton beras.  

Jika ditambah surplus Juni 6.46 juta ton maka total stok nasional Juli-Desember hanya 14.46 juta ton. Sehingga akan terjadi defisit 0.54 juta ton karena konsumsi beras diperkirakan 15 juta ton.

Ada dua pendekatan peningkatan produksi pangan untuk pemenuhan stok beras nasional ekstensifikasi atau perluasan areal melalui cetak sawah dan intensifikasi atau peningkatan produktivitas per satuan luas.  

Ekstensifikasi atau cetak sawah, seperti dirancang Kementan dan BUMN tadi,  adalah opsi yang irrelevan saat ini mengingat target mendesak untuk mencegah defisit pangan akhir tahun.  

Pencetakan sawah makan waktu lama, sedikitnya 1 tahun. Produktivitasnya juga sangat rendah pada tahun-tahun awal, maksimal 2.5 ton GKG/ha.  

Jika  tahun 2020/2021 misalnya bisa dicetak 50,000 ha, maka hasilnya baru diperoleh akhir 2021 sekitar 125,000 ton GKG atau setara beras 80,000 ton. Sementara defisit beras terjadi akhir tahun 2020 sebesar 540,000 ton.

Karena itu, jangka pendek,  sinergi Kementerian BUMN dan Kementan sebaiknya fokus pada program intensifikasi, peningkatan produktivitas dia areal baku untuk mencegah defisit stok beras. 

Program itu harus terintegrasi sepanjang rantai pasok mulai dari hulu (pupuk dan pestisida), tengah atau on-farm (benih dan budidaya) sampai hilir (pengolahan, logistik dan pemasaran) dengan melibatkan entitas BUMN Pangan.

Tantangan sinergi itu adalah optimalisasi manfaat luas baku sawah nasional seluas 7.46 juta ha. Sejauh ini masalahnya adalah Indeks Pertanaman (IP) yang rendah yaitu 1.5 (tanam 1.5 kali/tahun) dan produktivitas yang juga rendah (rata-rata 5.11 ton/ha).

Sinergi Kementan dan BUMN itu harus mematok target minimal peningkatan IP dari 1.5 menjadi 2.0  dan produktivitas dari 5.11 ton menjadi minimal 5.5 ton GKG/ha.  Ini berarti peningkatan teknologi agribisnis pangan padi sejak  pengolahan tanah sampai pascapanen. 

Jika ditargetkan luas panen musim gadu 2020 sebesar  40  persen, maka akan dihasilkan 16.4 juta ton beras di akhir musim sehingga Indonesia surplus 1.4 juta ton.  

Meredam Involusi dan Kemiskinan
Pemotongan anggaran Kementan tahun 2020 sebesar Rp 3.6 triliun, sehingga tinggal Rp 17.4 triliun (Perpres Nomor 54/2020) akan mengurangi volume kegiatan pembangunan pertanian dan penyerapan tenaga kerja. 

Pencetakan sawah, jika opsi itu dijalankan, bersifat padat mesin sehingga serapan tenaga kerjanya juga kecil.  

Lantas ke mana pertambahan tenaga kerja di pedesaan, akibat PHK dan pulang kampung terkait Covid-19, akan disalurkan?  

Mereka akan tetap masuk ke sektor pertanian dan menyebabkan kondisi involusi di situ. Suatu kondisi di mana terlalu banyak tenaga kerja menggantungkan nafkah di bidang pertanian yang kapasitasnya terbatas.  Ini adalah proses "berbagi kemiskinan" yang berakibat peningkatan kemiskinan di pedesaan.

The SMERU Research Institute dalam laporan The Impact of Covid-19 Outbreak on Poverty: An Estimation for Indonesia sudah memberi peringatan.  Pada angka pertumbuhan ekonomi 4.2% tahun 2020 (target 5.3%),  tingkat kemiskinan nasional akan naik dari 9.2% (24.8 juta jiwa, 2019) menjadi  9.7% (26.1 juta jiwa).  

Pemerintah sebenarnya sudah mengantisipasi "ledakan kemiskinan" itu dengan menyiapkan program jaring pengaman sosial.  Tapi, kecuali padat karya tunai pedesaan (Rp 10 triliun), program-program itu diperkirakan kurang efektif karena cenderung bias kota (kartu pra-kerja, kartu sembako, BLT, PKH).

Untuk meredam risiko involusi pertanian dan "berbagi kemiskinan" itu, integrasi fungsi-fungsi jaring pengaman sosial ke dalam program intensifikasi pertanian dapat dipertimbangkan sebagai sebuah strategi.    

Selain meningkatkan produktivitas,  program sinergi BUMN dan Kementan itu harus meningkatan pula volume kegiatan pangan. 

Caranya, pertama, peningkatan IP sampai 3.0, dua kali tanam padi dan satu kali tanam palawija/hortikultura. Kedua, peningkatan hilirisasi pertanian, khususnya pengolahan dan pemasaran hasil pertanian dan ikutannya.    

Dua cara itu akan menyerap tambahan tenaga kerja pedesaan dalam jumlah signifikan. Dengan begitu keresahan sosial akibat pengangguran dan kemiskinan, yang bisa berujung kerusuhan sosial, dapat diredam.

Jadi, jangka pendek, disarankan Kementan dan BUMN  fokus pada intensifikasi pertanian pangan bertujuan ganda yaitu meningkatkan produktivitas/produksi pangan untuk stok nasional dan meningkatkan  lapangan kerja untuk menyerap pertambahan tenaga kerja di pedesaan. 

Itulah tantangan pembangunan pertanian pangan di masa "normal baru".(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun