Rambu tulisan itu hanya tiga. Â Logika, etika, dan estetika. Logika dan etika sudah beberapa kali saya ulas. Khususnya dalam penulisan artikel opini. Â Â
Tinggal rambu estetika yang belum saya bincangkan. Sekaranglah gilirannya.
Tadinya saya memang kesulitan mengulas estetika tulisan. Â Sampai kemudian menemukan tamsil, "Menulislah seperti membangun Borobudur". Â
Maksud saya, Candi Borobudur di Magelang, mahakarya arsitektur yang sungguh elok itu.
Siapapun yang menyaksikan Borobudur pastilah berdecak kagum. Lalu menyusul pujian, "Indah sekali". Â
Tentu "indah" itu berbeda antara satu dan lain orang. Â Kendati objeknya sama. Sebab subjek-subjek pemandangnya beda latar budaya.
Keindahan Borobudur  beda di mata Poltak, Asep, dan Ketut.  Karena persepsi mereka tentang keindahan tergantung subjektivitas masing-masing. Â
Subjektivitas itu dibentuk oleh banyak faktor, antara lain nilai-nilai budaya etnik asal dan lingkungan sosialisasi.
Jadi, tamsil "Menulislah seperti membangun Borobudur", tidaklah bermakna keindahan tulisan itu seragam. Â Â
Tidak. Keindahan tulisan oleh ragam penulis itu beragam. Seperti beragamnya persepsi keindahan Borobudur.
Sebagaimana setiap orang mempersepsikan keindahan Borobudur secara unik, begitu pula keindahan tulisan adalah unik. Â
Berdasar subjektivitasnya, setiap penulis sudah punya persepsi sendiri tentang bangun tulisan yang indah.
Tamsil keindahan Candi Borobudur hanya untuk memahami pola umumnya saja. Â Â
Sebagai sebuah mahakarya arsitektur, Candi Borobudur itu bangun sempurna. Strukturnya kokoh, fungsional, dan indah. Â
Demikian pula selayaknya sebuah tulisan. Idealnya dibangun sebagai struktur yang kokoh, fungsional dan indah secara keseluruhan.
Borobudur dibangun dari ratusan ribu balok batu yang saling taut lewat takikan, getakan, lobang dan pen, serta ekor burung. Â
Saling-taut  antar balok batu itu membentuk struktur piramida yang indah dan kokoh. Mulai dari  dasarnya "kamadhatu", kehidupan rendah. Lalu "rupadhatu", kehidupan tinggi di tengah. Hingga "arupadhatu", nirwana di puncaknya.
Nirwana itu adalah simpulan kukuh untuk sebuah  kehidupan yang meningkat dari taraf rendah ke taraf tinggi.
Begitu pula sebuah tulisan, entah esai, prosa maupun puisi, idealnya dibangun kokoh dan indah seperti Borobudur. Â
Sebuah tulisan dibangun dari ratusan atau ribuan kata. Â Kata-kata bertaut menjadi kalimat. Kalimat bertaut membentuk paragraf. Secara keseluruhan lalu mewujudkan struktur piramida. Â
Kesimpulan tulisan itu ibarat arupadhatu. Dia kukuh dan indah jika didasarkan pada kamadhatu dan rupadhatu. Itulah fondasi data dan argumen-argumen yang kuat. Â Â
Keindahan sebuah tulisan secara keseluruhan juga ditentukan pilihan "batu" penyusunnya yaitu kosa kata. Â Juga oleh teknik penautan antar "batu"atau kata itu. Â Â
Seperti halnya susunan balok batu Borobudur menciptakan struktur dan detil yang indah, begitupun susunan kata dalam tulisan menciptakan struktur kalimat dan paragraf yang indah. Â
Maksud saya tulisan itu enak dibaca, mengesankan, dan mudah dimengerti. (Sudah pasti logis dan etis juga.)
Kualitas kosa kata juga harus yang terbaik, seperti halnya kualitas batu penyusun Borobudur. Â Â
Kosa kata pejoratif dan sarkastis tidak akan pernah menghasilkan sebuah tulisan yang indah. Â
Borobudur tak akan pernah seindah itu jika dibangun dari sembarang batu mutu rendahan.
Baiklah. Saya tak hendak berpanjang-lebar lagi. Intinya, silahkan rumuskan "Borobudur" masing-masing . Lalu menulislah seindah "Borobudur"-mu itu.
Itu saja dari saya, Felix Tani, tidak akan memberikan tips menulis yang baik dan benar. Hanya sekadar mendorong teman menjadi penulis berkarakter, punya "signature".(*)
Â
Â
 Â
Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H