Jadi menurut hemat saya, sebuah artikel opini harus memihak. Â Dia tidak bebas nilai, tidak netral. Kalau mau bilang tendensius, ya, seperti itulah. Justru pemihakan itulah jiwa dari sebuah opini. Â Itu menunjukkan "titik berdiri" penulisnya. Â Â
Saya tidak bisa bayangkan ada sebuah artikel opini diklaim netral. Â Itu bukan opini tapi, mungkin, artikel entri ensiklopedi. Â
Opini itu Indah
Indah itu relatif, tergantung perspektif (nilai) budaya individu, komunitas, atau bangsa. Â
Opini itu adalah karya arsitektur, sebuah bangunan. Â Karena itu, seperti halnya sebuah bangunan, dia memiliki dimensi estetika, keindahan. Â Itu menjadi ciri pembeda untuknya, sebagai daya tarik (jika indah) atau sebaliknya daya tolak (jika jelek).
Sebuah artikel opini yang indah, Â menurut saya, tepat diibaratkan sebagai candi Borobudur. Sebuah bangunan yang kokoh dengan struktur piramida, mengerucut sampai ke stupa nirwana. Â
Keindahan Borobudur bukan saja pada struktur, tapi juga pada bahan baku bermutu dan cara menyatukannya (sistem takikan) untuk membentuk satu bangunan yang sempurna.
Sebuah artikel opini idealnya harus punya struktur yang indah, seperti Borobudur. Â Basis data yang kuat di susun secara sistematis dan logis, lalu diikat dengan kata, kalimat, dan paragraf terbaik. Â Dengan begitu simpulannya di puncak menjadi kukuh, tidak mudah goyah atau diruntuhkan.
Pilihan kata, sebagai unsur bangunan terkecil, idealnya adalah kata terbaik. Â Sebuah bangunan opini menurut saya jauh dari estetis jika dibangun dengan kosa kata yang bersifat pejoratif atau sarkartis. Â Semisal kosa kata "onta", "kadal gurun", "kampret", "cebong", "dungu", dan "planga-plongo".
Kata dan kalimat pejoratif atau sarkastis menurut saya adalah indikasi data dan argumen yang lemah. Â Tidak paham bahwa data yang valid dan mencukupi serta argumen atau logika yang ketat adalah amunisi kritik yang paling tajam.
Kata Akhir
Dengan artikel ini saya tidak bermaksud menilai artikel-artikel atau pemikiran YB terkait opini. Â Pada posisi saya sebagai penganut faham anarkisme literasi (tekstualisasi), saya menerimanya sebagai salah satu dari banyak pendekatan yang mungkin ditempuh dalam penulisan opini. Â
Memang ada perbedaan pemahaman antara YB dan saya untuk beberapa konsep dasar. Â Tapi itu wajar karena pemahaman atas suatu konsep juga dipengaruhi subyektivitas, oleh nilai gang ada di kepala setiap orang.