Kota ini dulu bergegas di  mampat jalanan yang menyiksa. Sekarang dia mendekam di lengang jalanan yang mencekam.
Kemana perginya macet yang boros serapah itu?
Kota ini dulu mengumbar senyum di riuh jalan dan taman. Sekarang dia menutup muka dan menghindar penuh curiga.
Kemana perginya senyum yang sarat harap itu?
Kota ini dulu rajin bersolek di tepi jalan dan pinggir kali. Sekarang dia tampil bergincu iler bercelak belek.
Kemana perginya kecantikan yang genit itu?
Kota ini dulu sibuk menjamu dan bertamu. Sekarang dia mengunci palang di ujung lorong dan jalan raya.
Kemana perginya arus komuter penggerak roda hidup itu?
Kota ini dulu gemar pesta pora dan hura-hura. Sekarang dia meratap mengantar duka dalam keranda. Â
Kemana perginya narsisme yang sia-sia itu?
Kota ini dulu egois dan tak punya hati. Sekarang dia belajar setia kawan dan tepa selira.
Kemana perginya egoisme yang membunuh nurani itu?
Kota ini tak ku kenal lagi. Dia telah bersalin rupa oleh kuasa pandemi yang menjajah nafasnya.
Kemana perginya akal-budi kota ini sehingga dia perlu sebuah pandemi agar berubah?(*)
Jakarta, 7 Mei 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H