Kosmologi Batak Toba ternyata tidak mengenal konsep “neraka”. Jadi, jika seseorang menjadi penganut agama asli Batak, paganisme, maka dipastikan dia tidak akan masuk “neraka” di dunia orang mati.
Mungkin ada yang membantah, “Tapi orang Batak mengenal konsep api narokko.” Ya, betul, tapi itu konsepsi yang bersumber dari ajaran Gereja Kristen, Katolik maupun Protestan.
Dari istilahnya saja, api narokko, sudah jelas itu bukan Bahasa Batak Toba. Itu pinjaman dari Bahasa Indonesia, api dari “api” dan narokko dari “neraka”.
Tapi sungguhkan agama asli Batak,tak mengenal konsep yang setara dengan neraka? Ternyata ada. Konsep itu melekat pada konsep Banua Ginjang, Benua Atas atau Dunia Langit.
Saya akan jelaskan secara singkat di bawah ini. Lalu nanti di akhir saya akan perlihatkan kesejajarannya dengan ajaran agama Kristen.
***
Kosmologi Batak Toba mengenal tiga lapis benua yaitu Banua Ginjang (Benua Atas, Langit), Banua Tonga (Benua Tengah, Tanah) dan Banua Toru (Benua Bawah, Bawah Tanah).
Harap dicatat, orang Batak Toba tempo dulu melihat jagad raya dengan perspektif “bumi datar”. Makanya ada istilah “atas”, “tengah” dan “bawah”.
Benua Atas atau Langit adalah jagad para dewa. Di sana berdiam Dewata Agung Mulajadi Nabolon (Pencipta Agung). Juga tiga dewata tinggi yang memanifestasikan fungsi-fungsi Mulajadi Nabolon yaitu Bataraguru (pencipta), Soripada (pengelola), dan Balabulan (pembaharu).
Benua Bawah adalah tempat berdiam dewata rendah. Antara lain Nagapadoha (dewa gempa), Boru Saniangnaga (dewi air) dan Boraspatinitano (dewa kesuburan).
Benua Tengah adalah kediaman manusia dan segala mahluk hidup lain yang diserahkan Mulajadi Nabolon ke bawah penguasaannya.
Menurut keyakinan paganisme Batak, manusia setelah mati akan ditempatkan Mulajadi Nabolon di langit. Pertanyaannya, “Di langit yang mana?”
Menurut kosmologi Batak Toba, untuk keperluan itu Mulajadi Nabolon telah menciptakan tujuh lapis langit. Setiap lapis langit memiliki peruntukan yang spesifik.
Langit Pertama. Ini diperuntukkan bagi roh manusia yang perilakunya di dunia selalu bertentangan dengan norma sosial. Pembunuh, pemerkosa, peselingkuh, dan pedofil masuk di situ. Hukumannya hidup terbalik, kaki di atas kepala di bawah. Begitu selamanya.
Langit Kedua. Di sini ditempatkan roh para pencuri. Termasuk koruptor kakap sampai pencopet. Hukumannya, mereka harus memikul seluruh barang curiannya terus-menerus sepanjang waktu. Kalau dulu mencuri 100 ekor kerbau, maka harus memikul 100 ekor kerbau sepanjang waktu.
Langit Ketiga. Ini tempat para pembohong, penipu, tukang fitnah, tukang hoaks, tukang nyinyir, pemecah-belah, dan tukang gossip. Hukumannya, Mulajadi Nabolon akan menarik lidah mereka sampai terjulur sepanjang 100 depa. Bayangkan betapa sengsaranya menyeret-nyeret lidah sepanjang itu.
Langit Keempat. Di sini dikumpulkan roh para lintah-darat atau renteiner dan nasabah pengemplang utang. Sebagai hukuman, sepanjang waktu mereka kejar-kejaran. Renteiner sibuk mengejar-ngejar nasabah pengemplang. Nasabah sibuk melarikan diri.
Langit Kelima. Ini adalah tempat bagi orang-orang yang selama hidupnya gemar menolong orang miskin dan susah. Mereka mendapat ganjaran lipat-ganda dari Mulajadi Nabolon dan hidup bahagia di sana.
Langit Keenam. Ini adalah tempat Mulajadi Nabolon menciptakan takdir manusia. Setiap manusia yang lahir di bumi, sudah ada takdirnya di sana. Nah, kalau mau mengubah takdir buruk menjadi baik, maka manusia harus berdoa dan berupaya keras.
Langit Ketujuh. Inilah jagad dewata, tempat Mulajadi Nabolon serta Bataraguru, Soripada dan Balabulan bersemayam. Orang-orang yang semasa hidupnya berhati mulia dan berkelakuan terhormat akan diterima tinggal di sini.
***
Dari tujuh lapis langit menurut kosmologi Batak Toba, ternyata langit pertama sampai keempat diperuntukkan bagi roh manusia jahat. Setiap roh yang ditempatkan di situ menjalani hukuman yang setimpal dengan kejahatannya semasa hidup. Tempat ini sejajar dengan neraka dalam ajaran agama Kristen.
Sedangkan langit kelima dan ketujuh disediakan untuk roh manusia baik. Roh-roh baik itu mendapat ganjaran lipat-ganda dan tinggal bersama Mulajadi Nabolon di sana. Atau sekurangnya bertetangga dengan Mulajadi Nabolon. Ini sejajar dengan surga dalam ajaran agama Kristen.
Bedanya dengan ajaran agama Kristen, deskripsi surga dan neraka dalam ajaran paganisme Batak lebih detail dengan konsep langit tujuh lapisnya.
Ajaran Kristen bersifat hitam putih dengan dikotomi surga dan neraka. Surga tempat damai, neraka tempat derita. Orang baik masuk surga, orang jahat masuk neraka.
Pada ajaran paganisme Batak, surga dan neraka itu memiliki tingkatan. Langit pertama adalah neraka paling berat, sedangkan langit keempat merupakan neraka paling ringan.
Menariknya, tidak ada hukuman api (bakar) dalam konsepsi neraka tersebut. Jadi konsep api neraka tidak dikenal dalam kosmologi Batak.
Surga juga bertingkat. Langit kelima adalah surga tingkat bawah dan langit ketujuh surga tingkat atas.
Langit keenam secara khusus adalah jagad takdir. Di situ ada tajuk pohon hidup Batak, Hariara Sundung Langit. Delapan cabangnya menunjuk pada pilihan-pilihan takdir hidup manusia, apakah akan menjadi raja atau budak atau lainnya. Lalu buahnya menunjukkan apakah akan menjadi orang perkasa, bodoh, atau jahat (Baca: "Hariara, Pohon Tertinggi Sejagad ada du Tanah Batak" (kompasiana.com, 25/4/2019).
Ajaran agama Kristen memang tidak mengenal tingkatan-tingkatan neraka dan surga seperti paganisme Batak. Alasannya sederhana saja. Surga tak kenal stratifikasi dan diskriminasi, demikian pula dengan neraka.
Bagaimanapun, memang ada kesejajaran antara ajaran agama asli Batak dan agama Kristen tentang hakekat surga dan neraka. Agaknya ini menjadi salah satu faktor kemudahan juga dalam proses perpindahan keyakinan orang Batak, dari agama asli ke agama Kristen.
Baiklah artikel ini saya akhiri dengan sebuah pertanyaan titipan dari Poltak, tokoh fenomenal kita. Ini terkait takdirnya dalam konteks tujuh lapis langit menurut kosmologi Batak.
Poltak seorang politisi sekaligus pengacara. Sebagai politisi dan pengacara, dia punya prinsip “boleh bohong tapi tidak boleh salah”. Sebab sekali melakukan kesalahan, maka kekalahanlah upahnya.
Menurut Poltak, dunia politik dan hukum bukan soal benar dan salah, tetapi soal menang dan kalah. Itu prinsip yang dijalaninya selama ini.
Pertanyaan Poltak begini: “Kalau saya mati, di langit ke berapa rohku akan ditempatkan?”
Saya, Felix Tani, tidak mengerti bagaimana harus menjawabnya.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H