Orang Batak punya nasehat, "Indada tartaithon tumagononan ma tinostoshon; Indada tartangishon tumagonan ma tinortorhon". Artinya, "Jika tidak bisa ditarik maka lebih baik diputus; Jika tidak bisa ditangisi maka lebih baik ditarikan." Â
Begitulah. Â Lord Didi telah mengajak "Sobat Ambyar" menarikan patah hatinya dengan joged "Cendol Dawet" dalam lagi "Banyu Langit" dan "Pamer Bojo".
Sejatinya bukan hanya Godfather of Brokenheart, pengayom kaum "ambyar", Lord Didi juga pemimpin perlawanan terhadap "penjajahan" K-Pop. Â
Ketika gelombang invasi K-Pop menguasai relung-relung hati kaum millennial, Didi Kempot datang memimpin perlawanan dengan pasukan "Sobat Ambyar". Â Lihatlah, setiap pertunjukannnya disesaki kaum mileneal yang ternyata tidak kebal patah hati. Â
Lagu-lagu campursari Didi kempot telah "memerdekaan" kaum milenial nusantara, tentu sebagian, dari penjajahan K-Pop. Â Lagu-lagu berbahasa Jawa telah menaklukkan lagu-lagu berbahasa Korea pada sejumlah "pertempuran".
Daya kira, sekurangnya ada tiga jasa Lord Didi ini patut dicatat dengan tinta emas. Â Pertama, pemersatu hati anak bangsa dengan ikatan perasaan senasib, lewat lantunan lagu-lagu campursari loro ati.Â
Kedua, pejuang garis depan dalam perlawanan terhadap pandemik Covid-19 lewat jalan kesenian asli daerah.
Ketiga, pemimpin perlawanan terhadap invasi kesenian asing, K-Pop salah satunya, untuk memerdekakan generasi milenial dari penjajahan budaya luar.
Untuk tiga jasa besar itu, tidakkah sepatutnya Pemerintah RI memberikan anugerah Bintang Mahaputera untuk Lord Didi Kempot?
Kembali pada pesan WA dari kerabat di Solo. Tidak, itu bukan hoaks. Â Itu memang kabar duka yang benar sebenar-benarnya. Â
The Lord was died. Â Lord Didi Kempot terkasih telah pergi tak akan kembali ke pangkuan Sang Pencipta, pagi ini Selasa 5 Mei 2020 pukul 07.30 WIB pada usia 53 tahun.