Aku petani, menulis rencana semusim di atas lumpur.
Begini rencanaku. Kan ku tanam sehamparan padi di pangkal musim, untuk ku panen bulir-bulir emas darinya di ujung musim, lalu ku jual tuk biaya cita-cita anakku, mau kuliah di jurusan pertanian.
Aku petani, melukis harapan semusim di atas lumpur.
Begini harapanku. Hitam lumpur menjadi hamparan hijau pupus selepas tandur, sebelum menjadi permadani hijau royo-royo selepas tabur rabuk, lalu mewujud hamparan emas menjelang hari panen tiba.
Aku petani, mengubur cita-cita anakku ke dasar lumpur.
Begini cita-cita itu terkubur. Pemerintah impor beras demi biaya politik, menjadikan harga padi terjun ke jurang di saat panen, lalu lintah darat menghisap darahku di air keruh, membuatku membayar dua duit sepanjang musim, hanya tuk terima satu duit di ujung musim.
Aku petani, menyusun pemberontakan di atas lumpur.
Begini pemberontakanku. Kan ku jual sawahku kepada pengembang, ku sisakan sekadar lahan subsistensi, lalu kan ku sambangi kota Jakarta, sebab gubernurnya ramah pada si miskin, menggelar trotoar bagi penjaja picisan.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H