Di sini, Sang Guru itu adalah Pak Arief dan Sang Murid itu adalah saya.
***
Bukan Arief Budiman jika tak punya jiwa sosial. Dia sangat perhatian pada peri hidup para mahasiswanya. Â
Di mana tinggal, bagaimana cara ke kampus, bagaimana kelengkapan studi, bagaimana makanan sehari-hari? Itu adalah pertanyaan-pertanyaan penuh perhatian darinya.
Gara-gara pertanyaan-pertanyaan semacam itu, akhirnya terbongkarlah rahasiaku sebagai "mahasiswa miskin" yang direkomendasikan "Bapak Garis Kemiskinan Indonesia". Â
Saya hidup dan mengikuti perkuliahan di Salatiga hanya dengan dukungan beasiswa pas-pasan yang diambil dari dana riset peranan wanita yang dibiayai Ford Foundation. Ikatan dana ini telah "memaksa" saya untuk menulis tesis tentang peranan wanita pedesaan. Â Â
Topik tesis itu sebenarnya di luar minat akademik saya. Â Hanya karena Pak Arief sudi menjadi salah seorang pembimbing tesis, dan terus memberi dorongan, maka saya bersemangat menyelesaikannya. Â
Pak Arief itu tak pernah habis energi untuk mendorong mahasiswanya. Â Tidak hanya dalam bentuk kata-kata tapi juga perbuatan nyata.
Itulah yang saya alami. Â Karena tahu saya "miskin", untuk mengurangi beban ongkos angkot ke kampus, Pak Arief telah berbaik hati meminjamkan salah satu sepedanya untuk saya pakai selama kuliah di Salatiga.Â
Waktu itu saya tinggal di Blotongan, agak jauh dari UKSW. Â Ongkos angkot bolak-balik UKSW-Blotongan lumayan jadi beban juga untuk seorang mahasiswa "miskin".
Bahkan Pak Arief juga hendak meminjamkan salah satu mesin ketik tuanya untuk saya gunakan. Â Tapi saya tolak dengan halus karena tidak kuat menerima terlalu banyak kebaikan dari Sang Guru ini.
Sepeda pinjaman dari Pak Arief itulah teman setia saya berkeliaran ke segala penjuru dan sudut kota Salatiga selama dua tahun masa kuliah. Â Sejak semester pertama sampai lulus ujian tesis.