Sebuah tantangan lalu dilayangkan kepada Tigor. Tantangan diterima. Sepakat tanding suatu Rabu sore di Kebun Seminari, selepas kerja bakti rutin.
Terjadilah tanding beladiri Poltak versus Tigor. Di bawah sorak-sorai teman-teman sekelas.
Hasilnya? Hanya dalam tiga jurus, salah seorang sudah takluk dengan gigi seri goyah, hidung berdarah, plus rasa malu tak terperi. Orang itu adalah Poltak.
***
Februari-Maret 2020 di Jakarta, masa awal pandemi Covid-29 di Indonesia. Kebijakan "belajar di rumah" diterapkan pemerintah. Tujuannya mencegah tertular Covid-19, sekaligus memutus rantai penularan.
Kali ini giliran Tiur, anak perempuan Poltak, yang "belajar tanpa guru di rumah". Atau tepatnya "kuliah tanpa dosen" sebab Tiur sudah mahasiswa.
Tidak sepenuhnya tanpa guru sebenarnya. Sebab perkuliahan masih tetap dilangsungkan secara online. Begitupun tugas-tugas kuliah dan ulangan mata kuliah.
Kemajuan teknologi komunikasi digital memang telah memungkinkan kuliah berlangsung tanpa kehadiran fisik mahasiswa dan dosen dalam satu ruangan.
Poltak takjub tapi juga risau. Sebab dia teringat perbedaan "berguru" dan "belajar".
Berguru mengandaikan komunikasi primer antara murid dan guru. Komunikasi dua arah yang akrab.
Komunikasi itu, jika merujuk Habermas, berujung pada kesatu-pahaman yang produktif. Kesatu-pahaman yang membuahkan lagi pemahaman dan kesatu-pahaman baru. Begitulah sains tumbuh dan berbuah.
Sedangkan belajar tidak mengharuskan kehadiran fisik seorang guru dan komunikasi primer dengan murid. Pengajaran secara online itu adalah bentuk nyata belajar.