Seandainya Luther tidak terciduk intel Gubernemen di Doloksanggul, Humbang tahun 1929 maka dinamika sejarah politik Tanah Batak masa kolonial mungkin telah melahirkan sebuah kesultanan baru, Kesultanan Simarata yang mencakup wilayah Barus dan Limbong-Sagala.
Setidaknya, jika diandaikan juga Gubernemen atau Pemerintah Kolonial Belanda menolak aspirasi politik tersebut, setidaknya sejarah akan mencatat adanya gerakan terbuka untuk membentuk Kesultanan Simarata di Tanah Batak.
Tidak banyak orang yang tahu, bahkan orang Batak sendiri, mengenai gagasan pembentukan kesultanan itu. Sampai kemudian penyair Sitor Situmorang (2004) membuka fakta itu dalam bukunya, Toba Na Sae, sebuah karya wajib baca bagi pengkaji Batak Toba.
Pertanyaan penting di sini, siapa itu Simarata dan mengapa muncul gerakan politik pembentukan Kesultanan Simarata di Tanah Batak?.
Penjelasannya cukup kompeks tapi, dengan merujuk pada Sitor Situmorang dan sumber-sumber lain, saya akan coba sederhanakan di sini.
Soal Eksistensi Simarata
Laporan hasil interogasi polisi Belanda mengungkap gerakan bawah tanah pembentukan Kesultanan Simarata diinisiasi oleh Kelompok Naimarata. Luther termasuk dalam kelompok itu.
Pertanyaannya, tentu saja, siapa itu Kelompok Simarata dalam masyarakat Batak Toba? Untuk mengenalinya, perlu menelusur ke pangkal silsilah orang (suku) Batak Toba.
Saya coba buat sederhana saja. Siraja Batak, “orang Batak Pertama” yang berdiam di Sianjurmulamula (lembah Limbong-Sagala, kaki barat Gunung Pusukbuhit) “berputera” dua, Tateabulan atau Ilontungon dan Isumbaon.
Dua belahan besar (moety) suku Batak Toba berakar dari sini: Belahan Lontung (keturunan Ilontungon/Tateabulan) dan Belahan Sumba (keturunan Isumbaon).
Belahan Sumba, untuk membicarakannya lebih dulu, adalah keturunan Sorimangaraja, putera Isumbaon, dari tiga “isteri” yaitu Naiambaton (Sorbadijulu), Nairasaon (Sorbadijae) dan Naisuanon (Sorbadibanua).