Sebuah kepanitiaan dibentuk untuk bergerak “di bawah tanah” mempersiapkan pembentukan Kesultanan Simarata yang menyatukan wilayah Limbong Sagala dan Barus di baratnya.
Pilihan menyatu dengan Barus itu ada dasar sosio-historisnya. Pertama, Barus adalah rantau akhir Sariburaja, ayah Siraja Borbor (tokoh Simarata), yang kemudian membentuk “kerajaan” sendiri di situ. Kedua, marga Pasaribu, termasuk Borbor, bermigrasi pula ke sana dan “meraja” juga di situ.
Dengan dua alasan itu, maka Barus dipandang sebagai wilayah Simarata juga, sehingga penyatuan Barus danLimbong Sagala adalah sesuatu langkah yang dapat diterima secara sosio-historis.
Beginilah rencana pembentukan Kesultanan Simarata. Pada bulan Juni 1929, sebelum Raja Boental pulang ke Tanah Batak, Jonggimanaor yang waktu itu sudah diangkat Belanda sebagai Kepala Negeri Limbong akan mengadakan temu rakyat di Limbong Sagala untuk memproklamirkan kelahiran Kesultanan Simarata.
Setelah itu rombongan Jonggimanaor akan pergi ke Barus, bertemu dengan Sutan Garegen di sana, untuk membicarakan detil pembagian kekuasaan dan istana kesultanan. Sutan Garegen, waktu itu berstatus Kepala Kuria Barus Ilir yang mengaku bermarga Pasaribu-Borbor, sebelumnya sudah dihubungi panitia “bawah tanah”. Dia mendukung rencana pembentukan Kesultanan Simarata itu.
Menurut rencana, Kelompok Simarata akan mengajukan dua nama kepada Gubernemen untuk ditetapkan sebagai Sultan Simarata yaitu Jonggimanaor dan Sutan Garegen. Kesepakatannya, siapapun dari dua tokoh itu yang dipilih Gubernemen sebagai Sultan, maka tokoh yang satu lagi harus diangkat sebagai “orang nomor dua”.
Begitulah, lantaran Luther keburu diciduk intel Belanda pada April 1929, maka rencana pembentukan Kesultanan Simarata terbongkar dan berantakan.
Gubernemen jelas tidak menyetujui pembentukan kesultanan seperti itu karena bisa memicu efek domino. Jika Kesultanan Simarata disetujui maka nanti akan menyusul tuntutan pembentukan Kerajaan Sumba dan Jerajaan Lontung. Ini akan mengacaukan tatanan pemerintahan birokratis yang ditegakkan Belanda.
Rencana pembentukan Kesultanan Simarata itu kehilangan momentum dan relevansi. Raja Boental memang akhirnya dipulangkan ke Tanah Batak tetapi “dimatikan” melalui penugasan pada posisi netral. Dia diberi jabatan sebagai Penasehat Adat untuk Residen Tapanoeli, berkedudukan di Tarutung.
Raja Boental di skakmat Belanda. Pada jabatan itu dia tidak dimungkinkan berpolitik praktis. Demikianlah, sampai mangkatnya tahun 1941, aspirasi dan cita-cita “Kerajaan Batak” tak pernah terwujud. Demikian pula, gerakan dan gagasan Kesultanan Simarata meredup dengan sendirinya, sebab telah kehilangan relevansi sebagai antipoda Kerajaan Batak.
Catatan Akhir
Paparan ini adalah penceritaan sejarah sosial-politik masyarakat Batak Toba. Itu adalah fakta historis, saya coba tafsir ulang, tanpa tendensi mengagungkan atau sebaliknya memojokkan salah satu kelompok dalam masyarakat Batak Toba.