Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Samosir, 1 Pulau 2 Batak Toba

4 April 2020   22:13 Diperbarui: 5 April 2020   16:07 5094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta 2. Sebaran kecamatan di Kabupaten Samosir (wikipedia.com)

Pulau Samosir itu didiami dua kelompok Batak Toba yang berbeda. Satu kelompok di utara, lainnya di selatan.

Mayoritas orang Batak Toba pasti buru-buru membantah pernyataan itu. Sebab bagi mereka orang Batak Toba itu adalah "satu kesatuan etnik".

Batak Toba itu satu? Tunggu dulu. Coba periksa ulang lisan pra-sejarah dan tulisan sejarah Batak Toba. Agar terkuak kebenarannya.

Dalam lisan pra-sejarah, mitologi Kejadian Batak, jelas disebut adanya dua kelompok Batak Toba. Pertama, kelompok keturunan Tateabulan atau Ilontungon, disebut belahan Tateabulan/Ilontungon (Lontung). Kedua, kelompok keturunan Isumbaon, disebut belahan Isumbaon (Sumba).

Tateabulan dan Isumbaon adalah dua dari tiga putra Si Raja Batak, "orang Batak pertama". Seperti halnya Si Raja Batak, Tateabulan (Lontung) dan Isumbaon (Sumba) bukanlah nama-nama persona. Itu adalah nama kolektif untuk komunitas-komunitas generasi awal orang Batak Toba.

Pulau Samosir (daratan berwarna biru) di kejauhan (Foto: indobesia.go.id/pesona indonesia)
Pulau Samosir (daratan berwarna biru) di kejauhan (Foto: indobesia.go.id/pesona indonesia)
Nah, Pulau Samosir itu terpotong dua oleh wilayah domisili dua belahan Batak Toba itu. Samosir bagian utara didiami belahan Sumba (Isumbaon). Sedangkan bagian selatan didiami belahan Lontung (Tateabulan).

Batas Samosir Utara dan Samosir Selatan adalah sebuah "garis imajiner" yang ditarik dari muara sebuah sungai kecil di pantai barat pulau, di sekitar Palipi, lurus memotong ke sebuah batu di semenanjung kecil di pantai timur pulau, di selatan Tomok.

Saya akan jelaskan mengapa ada pembagian pulau oleh dua belahan Batak Toba seperti itu. Namun sebelumnya saya perlu perkenalkan dulu Pulau Samosir secara ringkas.

Lalu memaparkan sedikit tentang dua belahan Batak Toba. Setelah itu baru menjelaskan pemenggalan Pulau Samosir berdasar domisili dua belahan Batak itu.

Geografi Samosir
Berada di tengah pulau Sumatra, Pulau Samosir, termasuk wilayah Kabupaten Samosir, dikelilingi hamparan perairan Danau Toba. Luasnya 640 km2, urutan kelima dunia untuk pulau terbesar di tengah danau. Danau Toba sendiri, 1,130 km2 adalah danau vulkanik terbesar di dunia.

Aslinya, Samosir adalah semenanjung yang menempel seperti janin pada kaki Gunung Pusuk Buhit. Tangkai "janin" itu adalah tanah genting di Pangururan. 

Pada tahun 1905-1908, untuk memfasilitasi gerak penjajahan, Pemerintah Hindia Belanda menggali sebuah terusan di tanah genting itu. Itulah Terusan Wilhelmina, atau "Tano Ponggol" (Tanah Patah), yang menjadikan Samosir menjadi sebuah pulau.

Uniknya, di punggung Pulau Samosir terdapat empat danau kecil (pea) yang elok. Danau Silengge di Desa Huta Tinggi-Pangururan, Danau Sidihoni (5 ha) di Desa Sabungannihuta-Ronggurnihuta, Danau Sipalionggang di Desa Ronggurnihuta dan Danau Aeknatonang (105 ha) di Desa Tanjungan Kecamatan Simanindo.

Dari empat danau mini itu, Sidihoni dan Aeknatonang sudah menjadi destinasi wisata yang cukup diminati turis.

Pulau Samosir mencakup enam dari sembilan kecamatan di Kabupaten Samosir. Di belahan barat, berturut-turut dari utara ke selatan, ada Pangururan (ibu kota Samosir), Palipi, dan Nainggolan. Di belahan timur ada Simanindo di utara dan Onanrunggu di selatannya.

Di tengahnya, di punggung Samosir, terjepit Kecamatan Ronggurnihuta. Dinamai seperti itu karena setiap kali ada ronggur (guntur), orang menganggapnya bersumber dari Ronggurnihuta.

Pulau Samosir tergolong "gundul". Tutupan vegetasi hutannya terbilang sempit, hanya 108.5 km2, atau 17.2% dari luas pulau (630 km2), dan semakin sempit karena rawan pembalakan. Selebihnya padang rumput, savana, dan areal pertanian lahan kering. 

Dengan vegetasi seperti itu, pulau ini kerap kerontang saat kemarau dan sebaliknya banjir saat penghujan.

Pada bulan-bulan basah, kawasan pertanian rakyat di sisi barat pulau ini sebenarnya menyajikan mosaik warna-warni yang elok. Seturut ragam jenis tanaman yang dibudidayakan penduduk. Antara lain padi, jagung, kedelai, bawang merah, dan jahe. 

Warna daun ragam tanaman itu saling berbeda dan berubah-ubah sepanjang usia tanam.

Dua Belahan Batak Toba
Perkampungan pertama orang Batak Toba adalah Sianjurmulamula, berada di lembah Sagala-Limbong, di kaki barat Gunung Pusuk Buhit.

Komunitas Batak pertama, "Si Raja Batak", dan kemudian dua komunitas berikutnya yang dipersepsikan sebagai "putra Si Raja Batak", yaitu kelompok Tateabulan/Lontung dan Isumbaon/Sumba, bermukin di kampung Sianjurmulamula itu.

Tuturan tentang kewargaan dua belahan Batak Toba ini sedikit membosankan. Tapi penting untuk diketahui.

Pertama, belahan Lontung atau Tateabulan. Secara genealogis, belahan ino mencakup kelompok-kelompok sosial Sariburaja, Limbongmulana, Sagalaraja, dan Malauraja. Tiga nama terakhir menurunkan marga-marga induk Limbong, Sagala, dan Malau berikut narga-marga percabangannya.

Kelompok Sariburaja terdiri dari dua sub-kelompok yaitu Lontung (mengambil nama Ilontungon) dan Borbor. Sub-kelompok Lontung mencakup marga-marga induk Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Siregar dan Aritonang. 

Sedangkan sub-kelompok Borbor mencakup marga-marga Pasaribu, Batubara, Parapat,Tarihoran, Matondang, Saruksuk, Sipahutar, Harahap, Tanjung, Pulungan, Lubis, Simargolang dan Rambe.

Kedua, belahan Sumba atau Isumbaon. Secara keseluruhan belahan ini adalah keturunan Sorimangaraja ("putra" Isumbaon), dari tiga "istri" yaitu Nai Ambaton, Nai Rasaon, dan Nai Suanon. 

Menurut mitologi Batak, masing-masing istri itu melahirkan seorang putra. Nai Ambaton berputra Sorbadijulu, Nai Rasaon berputra Sorbadijae, dan Nai Suanon berputra Sorbadibanua.

Belahan Sumba adalah keturunan dari tiga orang putra Sorimangaraja itu. Lazim disebut kelompok keturunan (pomparan) Nai Ambaton, Nai Rasaon, dan Nai Suanon.

Kelompok Nai Ambaton terdiri dari marga-marga induk Simbolon, Munte, Tamba, dan Saragi berikut percabangannya. Cabang Munte misalnya Sitanggang dan Sigalingging. Cabang Tamba antara lain Sidabutar, Sijabat, Turnip, dan Siallagan. Cabang Saragi antara lain Nadeak dan Simarmata.

Selanjutnya kelompok Nairasaon terdiri dari marga-marga Manurung, Sitorus, Sirait, dan Butarbutar.

Paling besar adalah kewargaan kelompok Nai Suanon. Ini terdiri dari delapan sub-kelompok: Sibagotnipohan, Sipaettua, Silahisabungan, Sirajaoloan, Sirajasumba, Sirajasobu, dan Naipospos.

Sibagotnipohan terdiri dari marga-marga Tampubolon, Silaen, Baringbing, Siahaan, Simanjuntak, Hutagaol, Panjaitan, Silitonga, Siagian, Sianipar, Simangunsong, Marpaung, dan Napitupulu (Pardede).

Sipaettua mencakup marga-marga Pangaribuan, Hutapea, Hutahean, Aruan, Hutajulu, Sibarani, dan Sibuea. Selanjutnya, Silahisabungan terdiri dari marga-marga antara lain Sihaloho, Situngkir, Doloksaribu, Sinurat, Nadapdap dan Tambunan.

Sirajaoloan meliputi marga-marga Naibaho, Sihotang, Bakkara, Sinambela, Sihite, dan Simanullang. Sedangkan Sirajasumba terdiri dari marga induk Sihombing dan Simamora beserta marga-marga percabangannya.

Sirajasobu terdiri dari marga induk Sitompul dan Hasibuan. Percabangan Hasibuan adalah marga-marga Hutabarat, Panggabean, Hutagalung, dan Hutatoruan (Lumbantobing).

Terakhir, Naipospos mencakup marga-marga Marbun (Lumbanbatu, Banjarnahor, Lumbangaol), Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, dan Situmeang.

Begitulah pemilahan orang Batak Toba menurut marganya ke dalam dua belahan, Lontung dan Sumba. Tuturan di atas bersifat umum. Sehingga tak terhindarkan adanya sejumlah marga yang luput dari penyebutan.

Jika menghitung jumlah marga, maka terang belahan Sumba lebih besar dibanding Lontung. Sastrawan Sitor Situmorang (2004) misalnya menghitung, sampai abad ke-19 ada 325 marga Batak Toba. Rinciannya Sumba 250 marga sedangkan Lontung hanya 75 marga.

Konsekuensinya adalah luas wilayah domisili masing-masing belahan itu. Belahan Sumba menguasai sekitar 4/5 wilayah Tanah Batak, sedangkan Lontung hanya 1/5 darinya.

Itulah yang tergambarkan pada kasus Pulau Samosir, seperti akan saya jelaskan di bawah ini.

Dua Penggalan Samosir
Kampung awal orang Batak Toba adalah huta Sianjurmulamula, terletak di lembah Sagala-Limbong, di kaki barat Gunung Pusuk Buhit. Seiring perkembangan waktu, kampung ini kemudian berkembang menjadi horja (federasi huta), dan akhirnya tumbuh menjadi bius (federasi horja). 

Bius Sianjurmulamula itu adalah yang pertama dan menjadi model untuk pembentukan bius-bius berikutnya. Pemerintahan bius itu adalah pemerintahan komunitas persawahan. Dipangku oleh dwi-tunggal pemimpin religi (Parbaringin, pendeta, pemimpin ritus-ritus pertanian) dan pemimpin duniawi (raja, pemerintah).

Merespon pertumbuhan penduduk, keturunan Lontung dan Sumba bermigrasi ke luar Sianjurmulamula, diperkirakan dalam periode tahun 1000-1300.

Arah migrasi itu, pertama, mendatar ke timur, ke tanah berawa Pangururan, dan kemudian ke penggal utara Samosir, hingga ke tepi timur pulau, ke Simanindo, Ambarita, dan Tomok sekarang.

Kedua, turun ke selatan, ke lembah-lembah bersungai di pantai luar barat sampai selatan Danau Toba. Mulai dari lembah Harianboho, Sihotang, Tamba, Sabulan, Janjiraja, Tipang, Bakkara, Muara, Meat, lalu ke Tobaholbung (Balige dan sekitarnya) dan Uluan (Porsea dan sekitarnya).

Proses migrasi itu pada dasarnya adalah persaingan penguasaan wilayah tanah baru, khususnya lembah untuk persawahan. Sekali ditemukan dan dikuasai suatu lembah, maka di situ didirikanlah huta, lalu horja, kemudian bius baru, mengikuti model bius Sianjurmulamula.

Dalam persaingan penguasaan tanah baru itu, nyata belahan Lontung berada di pihak yang "kalah", antara lain karena faktor jumlah warga yang lebih kecil.

Wilayah kekuasaan Lontung menjadi semacam enklaf saja di tengah wilayah kekuasaan Sumba. Di pantai barat, ada enklaf Sabulan, Janjiraja, dan Muara yang dikuasai marga-marga kelompok Sariburaja, khususnya sub-kelompok Siraja Lontung.

Lalu di Samosir utara ada enklaf-enklaf huta Malau ("saudara" Sariburaja"), mencakup marga-marga Manik, Ambarita dan Gurning, di Rianiate, Pangururan, Salaon (di Ronggurnihuta), Simanindo (huta Ambarita), dan Sipolha.

Kelompok Malau ini kalah dalam persaingan penguasaan tanah dari Sagala dan Limbong, sehingga terpaksa mengelana keluar dari Sianjurmulamula. Untungnya kelompok ini diterima bermukim di wilayah kekuasaan belahan Sumba, di Samosir utara.

Belahan Sumba yang menguasai Samosir utara adalah kelompok turunan Naiambaton, dengan marga-marga induk Simbolon, Munte, Tamba, dan Saragi.

Penanda wilayah kekuasaan antara lain adalah huta atau bius. Misalnya ada huta Siallagan (cabang marga Tamba) di Simanindo dan huta Situngkir (Saragi) di Pangururan. Lalu, dahulu ada bius Simbolon dan Simarmata (cabang Saragi).

Batas wilayah Sumba dan Lontung, atau Samosir Utara dan Selatan, adalah garis imajiner yang (diperkirakan) ditarik dari perbatasan bius Palipi dan Hatoguan di pantai barat sampai perbatasan bius Lontung dan Tomok (bius Sidabutar) di pantai timur (lihat Peta 1).

Peta 1. Sebaran bius-bius di Pulau Samosir abad ke-19 (Repro dari buku Sitor Situmorang, 2004)
Peta 1. Sebaran bius-bius di Pulau Samosir abad ke-19 (Repro dari buku Sitor Situmorang, 2004)
Dalam peta Kabupaten Samosir kini, wilayah Sumba mencakup Kecamatan Palipi bagian utara, Pangururan, Ronggurnihuta, dan Simanindo bagian utara. Sedangkan wilayah Lontung mencakup Kecamatan Palipi bagian selatan, Nainggolan, Onanrunggu, dan Simanindo bagian selatan (lihat Peta 2).

Peta 2. Sebaran kecamatan di Kabupaten Samosir (wikipedia.com)
Peta 2. Sebaran kecamatan di Kabupaten Samosir (wikipedia.com)
Belahan Lontung yang menguasai Samosir selatan adalah keturunan Siraja Lontung, anak Sariburaja, generasi keempat orang Batak pada garis darah Tateabulan. Terutama komunitas marga Sinaga, Situmorang, Pandiangan, dan Nainggolan (Simatupang, Aritonang dan Siregar bermukim di Muara).

Sebelumnya kelompok Siraja Lontung itu tinggal di Sabulan, di seberang Samosir selatan. Akibat bencana banjir bandang yang meluluh-lantakkan seluruh desa, mereka lalu pindah ke Samosir.

Awalnya mereka masuk ke Samosir utara yang telah diduduki kelompok Naiambaton (Sumba). Tapi diusir oleh komunitas Simbolon dan Sitanggang. Lalu dibuat kesepakatan damai, dengan menarik garis batas imajiner wilayah Sumba dan Lontung yang disebut di atas.

Sejak itu Samosir terpenggal menjadi wilayah Sumba (utara) dan wilayah Lontung (selatan). Kelompok Lontung sendiri mendirikan bius utama di Urat, di bawah kepemimpinan "pendeta-raja" Ompu Paltiraja Sinaga. Ke bius utama ini antara lain bius Nainggolan dan huta Pandiangan dahulu berkiblat.

Samosir utara sendiri terdiri dari sejumlah bius. Semuanya berkiblat ke bius Baligeraja, bius utama belahan Sumba, di bawah kepemimpinan "pendeta raja" Sorimangaraja.

Catatan Akhir
Tuturan pemenggalan Samosir oleh dua belahan Batak Toba ini tidak dimaksudkan untuk mengungkit dan mengingatkan keterbelahan Batak Toba.

Faktanya, belahan Lontung itu secara tradisi (historis) adalah hulahula (pemberi istri) bagi belahan Sumba yang, karena itu, menjadi pihak boru (penerima istri). Jadi kedua belahan itu adalah moety, yang membentuk struktur dan kultur Dalihan Na Tolu orang Batak Toba.

Bahwa antara dua belahan itu pernah terjadi sengketa pertanahan (agraria) di masa lalu, itu justru menjadi pelajaran bagi orang Batak Toba masa kini. Dahulu batas huta dan bius sangat dihormati, kendati itu batas imajiner, atau batas alami.

Batas itu kini telah dikaburkan oleh administrasi pemerintahan modern, warisan kolonial. Sehingga kerap memicu sengketa agraria di Tanah Batak, baik antar kampung/ desa maupun antara masyarakat dan pemerintah.

Sebagai bagian dari upaya resolusi sengketa agraria semacam itu ada baiknya merujuk sejarah huta, horja, dan bius. Dengan cara itu akan diperoleh peta penguasaan tanah di Tanah Batak sesuai fakta sosio-historisnya. 

Peta itu bisa menjadi rujukan setiap kali ada konflik agraria, baik antar dua belahan maupun internal satu belahan Batak Toba.

Membuat peta agraria yang bersifat sosio-historis semacam itu terutama menjadi tugas pemerintah daerah. Dalam kaitan Samosir misalnya, tentu menjadi tugas Pemda Kabupaten Samosir.

Demikian tuturan saya, Felix Tani, warga belahan Sumba.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun