Itulah representasi dari saya untuk Kompasiana. Â Kalau tidak begitu maka nilai (imbalan) saya lebih rendah dari nilai (pemberian) Kompasiana. Â Nah, ini soal harga diri.
Celakalah mereka yang telah menerima "satu talenta" dari "tuan"-nya tapi tak mampu "mengembalikannya" menjadi "dua talenta". Â Itu namanya menyia-nyiakan karunia. Dosa, dan itu ada upahnya, bukan?
Kira-kira hal itu sama saja dengan kita telah setia memberi pajak Rp 1 juta kepada pemerintah. Â Tapi pemerintah bukannya "mengembalikan" pajak kepada kita dalam wujud layanan senilai Rp 2 juta. Â Hanya mengembalikan sebesar Rp 0.5 juta karena Rp 0.5 juta sudah dimasukkan kantong sendiri.
Itu namanya pemerintah kebanyakan pakai pelicin sehingga malah slip, muter kencang, tapi mandeg di tempat. Â Atau, kalau sial, ya, tergelincir masuk bui.
Wah, maaf, ngelantur lagi. Â Kembali ke pokok perkara, bingkisan kecil untuk nominee Kompasiana Awards 2019.
Sebenarnya, jika merujuk Hans Antlov, pemerisn bingkisan kecil oleh Kompasiana itu bisa ditafsir sebagai "perintah halus" (gentle hints). Â Peintah halus Admin agar saya tetap menulis dan meningkatkan mutu artikel.
Ini memang moda kuasa yang nJawani banget. Sebenarnya otoriter, tapi caranya sungguh halus, sehingga terasa tanpa paksa. Mungkin itu hasil sosialisasi bos KGG, Pak Jacob Oetama?
Baiklah, saya tak hendak berlarat-larat. Intinya, saya mau bilang, baiklah kalau Admin Kompasiana dan Kompasianer saling setia dalam perkara-perkara kecil. Dengan begitu kita juga boleh berharap akan setia dalam perkara-perkara besar.
Apa perkara besar itu, bisalah disepakati bersama. Â Misalnya komitmen bersama untuk memproduksi artikel positif di Kompasiana. Bukankah itu perkara besar?
Begitu saja dari saya, Felix Tani, petani mardijker, sejujurnya masih belajar setia bahkan pada perkara-perkara kecil. Â Jangan kata perkara besar.(*)
*Artikel ini ditulis sebagai wujud terimakasih dan penghargaan saya kepada Admin Kompasiana, para millenial cerdas yang tabah melayani para kolonial lelet seperti saya.