Memang masih perlu diperiksa apakah kesejajaran itu sebuah koinsidensi atau kausalitas. Pertanyaannya, apakah mitos penciptaan bumi Batak itu sudah ada sebelum orang Batak mengenal agama Kristen pada akhir 1880-an? Atau mitos itu dikarang setelah orang Batak mendapat pelajaran Kitab Kejadian dari Zending Protestan.?
Pertanyaan terakhir ini muncul karena, berdasar pelacakan, buku cetak tertua yang mengisahkan penciptaan Tanah Batak, "Pustaha Batak" (J.W. Hutagalung) baru terbit tahun 1913. Itu berarti 49 tahun sejak "Apostel Batak" Ludwig I. Nommensen memulai penginjilannya tahun 1864 di Tanah Batak.
Tapi, lepas dari soal apakah itu koinsidensi atau kausalitas, jelas bahwa kesejajaran antara mitos Batak dan Kitab Kejadian diduga telah menjadi salah satu faktor pemercepat penerimaan orang Batak (Toba) pada Kristianitas. Tentu tanpa menafikan fakta adanya upaya menghambat penyebaran Islam di Tanah Batak pada masa penjajahan Belanda.
Kesejajaran itu mencakup juga konsepsi Debata Natolu, Tridewata, yaitu Bataraguru-Soripada-Mangalabulan. Tridewata ini kemudian ditransformasi menjadi fungsi-fungsi Trinitas dalam iman Kristiani. Bataraguru adalah fungsi Allah Bapa sebagai pencipta. Soripada adalah fungsi Allah Putera sebagai pelaksana (perintah Allah Bapa). Â Mangalabulan adalah fungsi Allah Roh Kudus sebagai pembaharu (hidup baru).
Begitulah. Â Orang Batak (Toba) mungkin tak terlalu sadar bahwa perspektif "bumi datar" telah menuntun mereka meninggalkan agama asli "Siraja Batak", untuk kemudian menjadi penganut agama Kristen yang tergolong sangat taat. Â Khususnya jika menunjuk pada umat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), agama mayoritas di Tanah Batak.
Sejatinya HKBP dan kemudian Katolik di Tanah Batak adalah gereja inkulturatif. Â Adat dan budaya Batak untuk sebagian diadopsi ke dalam liturgi gereja. Konsep banua ginjang (surga) dan banua tonga (bumi) misalnya diadopsi ke dalam doa "Bapa Kami".
Begini bait pertama doa "Bapa Kami" dalam Bahasa Batak: "Amanami na di banua ginjang. Sai pinarbadia ma goarMu. Sai ro ma harajaonMu. Sai saut ma lomo ni rohaM. Di banua tonga on songon na di banua ginjang." (Bapa kami yang ada di surga. Dimuliakanlah namaMu. Datanglah kerajaanMu. Jadilah kehendakMu. Di atas bumi seperti di dalam surga.")
Demikianlah penuturan saya, Felix Tani, petani mardijker, waktu kanak-kanak percaya bumi itu datar, di atasnya surga, di bawahnya neraka.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H