Ya, memang mengerikan. Â Andaikan lelaki Batak menikah tapi tak punya anak, atau punya anak tapi perempuan semua, maka putus jugalah garis turunannya. Â
Jika lelaki menikah tanpa anak itu meninggal dunia, maka orang menyebutnya  "mate punu", tanpa keturunan.  Putus sudah silsilahnya.  Ini jenis kematian yang paling ditakuti lelaki Batak yang sudah menikah.
Jika lelaki yang hanya punya anak perempuan meninggal, putus juga silsilahnya. Â Tapi tidak separah "mate punu". Â Sebab anak perempuannya memberi status "hula-hula" padanya. Â Jadi "marga"-nya masih disebut orang dalam relasi sosial adat Batak.
Tambahan, ada pula preseden historis dari turunan Si Raja Lontung. Dua dari sembilan marga kelompok Lontung, yaitu Sihombing dan Sinamora adalah "boru" (perempuan) yang dianggap "anak" (lelaki). Â
Nilai persamaan "boru" dan "anak" itu dinyatakan dalam "umpasa" berikut:Â
"Tinallik randorung bontar gotana, dos do anak dohot boru nang pe pulik margana, ai dompak marmeme anak, dompak do tong marmeme boru, andung ni anak sabulan di dalan, andung ni boru sataon."
Artinya: "Lamtoro ditakik putih getahnya, putra dan putri sama walau lain marga, sebab putra diloloh putri sama diloloh, ratapan putra sebulan ratapan putri setahun."
***
Tapi yang paling parah dan merana adalah manakala lelaki Batak tak menikah. Â Bukan saja dia tak akan pernah punya anak lelaki penerus marganya. Tetapi dia juga tidak diperhitungkan dalam struktur masyarakat adat Batak. Â
Sebab jika seorang lelaki Batak tidak nikah, maka dia tidak akan diadatkan. Maka dia tidak akan pernah mendapatkan status "hula-hula" (pemberi isteri) ataupun "boru" (penerima isteri). Secara adat dia terpinggirkan.
Jika lelaki tak menikah itu meninggal dunia, maka dia disebut "mate ponggol", mati patah. Belum sempat "bertunas" (menikah dan berketurunan) sudah mati. Â Otomatis silsilahnya putus. Â Dia mati tanpa jejak.