Logika macam apa itu. Ini bukan soal persetujuan Setneg, Pak Sekda. Tapi persetujuan Komisi Pengarah. Sekretaris Komisi Pengarah itu Gubernur Jakarta. Masa urusan gini seorang Sekda, PNS ter-senior, tidak paham, sih?
Terakhir, Pak Sekda ini mengeluh. Katanya, mau mempercantik Monas kok dibikin rumit. Â Birokrasi mestinya mempermudah, bukan mempersulit. Jadi mestinya Komisi Pengarah setuju saja. Begitu kata Pak Sekda.
Lha, memangnya birokrasi mana yang bikin rumit? Bukannya Pemda Jakarta sendiri yang bikin rumit dengan melangkahi birokrasi Komisi Pengarah? Kok sekarang malah terkesan menyalahkan Komisi Pengarah? Â
Seandainya dari awal Gubernur Anies mengajukan permohonan persetujuan kepada Komisi Pengarah, dan "detail enginering design" (DED) tidak menyimpang dari disain awal (hasil sayembara), mungkin kerumitan ini tak perlu terjadi. Â
Begitulah polah "Sekda rasa Mensesneg" di Jakarta. Â Tapi kalau mau jujur, polahnya tak mencerminkan kelayakan sebagai Sekda. Â Logikanya dibalik-balik, untuk tak mengatakan kacau. Â
Ujaran-ujarannya terkait revitalisasi Monas memang tak mencerminkan kompetensi seorang Sekda. Â
Ambil contoh soal pohon yang ditebang. Dia tak tahu pasti jumlah, jenis, dan ukurannya (umur pohon). Â Juga tidak tahu di mana sekarang pohon-pohon itu berada. Belakangan dia juga bilang pohon-pohon itu tidak dijual karena tidak ada nilainya.
Pak Sekda, Anda tidak tahu jenis, ukuran dan jumlah pohon yang telah ditebang. Juga tidak tahu di mana bangkai pohon itu sekarang. Â Bagaimana Anda bisa bilang pohon-pohon itu tak ada nilainya? Mikir dikit, napa, Pak.
Jadi, "Sekda rasa Mensesneg" ini sebaiknya diam saja. Gak usah ngomong lagi soal revitalisasi Monas. Sebab isi omongannya kacau, tidak logis, sehingga tak bisa dipercaya. Aneh, orang dengan kualitas komunilasi begini kok bisa menjabat Sekda DKI Jakarta.
***
Ada gejala "tak pantas" yang menghinggapi pejabat DKI sekarang ini. Gejala mengkritisi atau bahkan menyinyiri Pemerintah Pusat. Â Mungkin ketularan dari Gubernur Anies yang gemar mengkritik dan menyinyiri pemerintah pusat. Semisal nyinyir pada Presiden Jokowi.