Ada rasa kurang pas di hati sewaktu membaca artikel rekan Ahmad Indra, "Nyai Sinta Nuriah dan Kegusaran Mengenai Jilbab", di kompasiana.com tanggal 24 Januari 2020.
Bukan tentang isinya, yang bukan kompetesi saya membahasnya, tetapi soal penyebutan Ibu Sinta Nuriah sebagai Nyai Sinta Nuriah oleh rekan Ahmad Indra.
Dalam KBBI online "nyai" diartikan sebagai (1) panggilan untuk orang perempuan yg belum atau sudah kawin; (2) panggilan untuk orang perempuan yg usianya lebih tua dp orang yg memanggil; (3) gundik orang asing (terutama orang Eropa); nyai-nyai sebutan kpd wanita piaraan orang asing.
Pertanyaan saya, dalam benak, pantaskah menyematkan panggilan "Nyai" untuk Ibu Sinta Nuriah? Penasaran, saya coba telusuri ikhwal penyematan gelar "Nyai" itu pada perempuan di Indonesia. Seturut pengertian KBBI di atas.
Pertama,  saya temukan bahwa sebutan "Nyai" itu lazim dikenakan  pada perempuan dewasa di lingkungan etnis Sunda. Tapi Ibu Sinta Nuriah bukan perempuan Sunda. Dia seorang perempuan Jawa.
Orang Sunda juga menggunakan sebutan "Nyai" untuk  dewi.  Semisal Nyai Pohaci untuk Dewi Padi, atau Dewi Sri dalam mitologi Jawa.
Kedua, dalam kultur Jawa, sebutan "Nyai" ternyata dikenakan juga pada isteri Kyai. Semisal isteri Kyai Ahmad Dahlan, Ibu Siti Walidah disebut Nyai Ahmad Dahlan. Maksudnya, Nyonya Ahmad Dahlan. Atau Ibu Ahmad Dahlan. Itu panggilan kehormatan.
Perhatikan, isteri Kyai Ahmad Dahlan itu tidak disebut Nyai Siti Walidah. "Nyai" di situ adalah sebutan kehormatan, disandingkan dengan gelar "Kyai".
Gelar Nyai dalam masyarakat Jawa lazim juga diberikan pada seorang perempuan penguasa suatu wilayah. Seperti Nyai Ageng Serang, nama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi (1752-1828). Gelar itu disandangnya setelah menggantikan ayahnya, Â Pangeran Natapraja (Ki Ageng) sebagai penguasa wilayah Serang, Mataram.
Prinsip penamaan seperti itu berlaku juga untuk Nyai Roro Kidul yang, dalam mistisme Jawa, diyakini sebagai Ratu Penguasa Laut Selatan.
Ketiga, di Kalimantan Selatan gelar "Nyai" ternyata diberikan khusus pada perempuan terhormat tapi bukan keturunan bangsawan. Misalnya Nyai Ratu Komalasari, permaisuri Sultan Adam dari Kesultanan Banjar.