Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebutan "Nyai" untuk Ibu Sinta Nuriah, Pantaskah?

30 Januari 2020   20:03 Diperbarui: 31 Januari 2020   08:01 2032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sinta Nuriyah Wahid menyampaikan pidatonya dalam penganugerahan gelar doktor honoris causa di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 18 Desember 2019.(Foto: Humas UIN Suka)

Ada rasa kurang pas di hati sewaktu membaca artikel rekan Ahmad Indra, "Nyai Sinta Nuriah dan Kegusaran Mengenai Jilbab", di kompasiana.com tanggal 24 Januari 2020.

Bukan tentang isinya, yang bukan kompetesi saya membahasnya, tetapi soal penyebutan Ibu Sinta Nuriah sebagai Nyai Sinta Nuriah oleh rekan Ahmad Indra.

Dalam KBBI online "nyai" diartikan sebagai (1) panggilan untuk orang perempuan yg belum atau sudah kawin; (2) panggilan untuk orang perempuan yg usianya lebih tua dp orang yg memanggil; (3) gundik orang asing (terutama orang Eropa); nyai-nyai sebutan kpd wanita piaraan orang asing.

Pertanyaan saya, dalam benak, pantaskah menyematkan panggilan "Nyai" untuk Ibu Sinta Nuriah? Penasaran, saya coba telusuri ikhwal penyematan gelar "Nyai" itu pada perempuan di Indonesia. Seturut pengertian KBBI di atas.

Pertama,  saya temukan bahwa sebutan "Nyai" itu lazim dikenakan  pada perempuan dewasa di lingkungan etnis Sunda. Tapi Ibu Sinta Nuriah bukan perempuan Sunda. Dia seorang perempuan Jawa.

Orang Sunda juga menggunakan sebutan "Nyai" untuk  dewi.  Semisal Nyai Pohaci untuk Dewi Padi, atau Dewi Sri dalam mitologi Jawa.

Kedua, dalam kultur Jawa, sebutan "Nyai" ternyata dikenakan juga pada isteri Kyai. Semisal isteri Kyai Ahmad Dahlan, Ibu Siti Walidah disebut Nyai Ahmad Dahlan. Maksudnya, Nyonya Ahmad Dahlan. Atau Ibu Ahmad Dahlan. Itu panggilan kehormatan.

Perhatikan, isteri Kyai Ahmad Dahlan itu tidak disebut Nyai Siti Walidah. "Nyai" di situ adalah sebutan kehormatan, disandingkan dengan gelar "Kyai".

Gelar Nyai dalam masyarakat Jawa lazim juga diberikan pada seorang perempuan penguasa suatu wilayah. Seperti Nyai Ageng Serang, nama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi (1752-1828). Gelar itu disandangnya setelah menggantikan ayahnya,  Pangeran Natapraja (Ki Ageng) sebagai penguasa wilayah Serang, Mataram.

Prinsip penamaan seperti itu berlaku juga untuk Nyai Roro Kidul yang, dalam mistisme Jawa, diyakini sebagai Ratu Penguasa Laut Selatan.

Ketiga, di Kalimantan Selatan gelar "Nyai" ternyata diberikan khusus pada perempuan terhormat tapi bukan keturunan bangsawan. Misalnya Nyai Ratu Komalasari, permaisuri Sultan Adam dari Kesultanan Banjar.

Keempat,  ada sebutan "Nyai" untuk perempuan gundik orang Belanda pada masa penjajah dulu. "Nyai" Belanda itu konotasinya negatif secara moral. Walaupun secara ekonomi hidupnya lebih jaya dibanding perempuan "pribumi" kebanyakan.  

Ingat kisah fiksi "Nyai Dasima" karangan G. Francis? Dikisahkan Dasima, perempuan molek dari Kampung Kuripan (dekat Ciseeng),  adalah nyai tercinta Tuan Edward William. Dia kemudian berselingkuh dan menikah sebagai isteri kedua Samiun, tukan sado   dari Kwitang. Tapi kemuduan tewas dibunuh Bang Puase, jagoan Kwitang, atas suruhan Hayati, isteri pertama Samiun yang dibakar api cemburu.

Dari empat cara penggunaan sebutan "Nyai" itu,  Ibu Sinta Nuriah selayaknya disebut Nyai Abdurrahman Wahid, atau Nyonya Abdurrahman Wahid. 

Penyebutan semacam itu sudah sepantasnya, mengingat Ibu Sinta Nuriah memang isteri seorang Kyai.

Saya tidak paham latar belakangnya mengapa rekan Ahmad Indra menyebut "Nyai Sinta Nuriah".  Seolah Ibu Sinta itu bukan berasal dari keluarga terhormat. 

Mungkin ada alasan lain yang saya tidak tahu. Semisal panggilan kepada perempuan usia tua (Lih. KBBI). Tapi rasanya kok ya kurang pas juga.

Ibu Sinta Nuriah itu tergolong perempuan utama Indonesia.   Bukan sekadar mantan Ibu Negara yang ke-4, tapi juga seorang di antara sedikit perempuan Indonesia yang menguasai hukum syariah dan Kitab Kuning, buku rujukan pesantren tentang ajaran Islam.

Ibu Sinta Nuriah juga termasuk tokoh berpengaruh di dunia. Tahun 2018 namanya masuk dalam daftar 100 orang tokoh paling berpengaruh di Dunia versi Majalah Time, dalam kategori tokoh pejuang perempuan dan kaum minoritas. Sebelumnya, tahun 2017, Ibu Sinta memperoleh penghargaan Internasional, sebagai 11 Perempuan Paling Berpengaruh versi Harian New York Times.

Bagi saya, Felix Tani, petani mardijker, lebih pantas memanggilnya Ibu Sinta Nuriah.  Atau kalau sedang merasa "gila demokrasi", saya sebut Sinta Nuriah saja.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun