Belakangan hari, kategori sileban secara sosiologis telah diperluas cakupannya. Tidak hanya menunjuk pada orang non-Batak, tapi juga sesama orang Batak tapi bukan kerabat dekat atau kerabat luas (extended family).Â
Orang Batak kategori ini adalah orang kampung jauh atau orang kota yang "tidak dikenal", sehingga diperlakukan sebagai sileban.
Hal terakhir ini dapat menjelaskan tindakan pemilik rumah makan Elios dan Malau untuk melambungkan harga, sekalipun konsumennya sesama orang Batak.Â
Bahkan pada kasus Elios, pemilik rumah makan dan konsumen sama-sama marga Sidabutar, tapi sudah saling asing satu sama lain.
Begitulah etika "Kapitalisme Batak". Intinya, dalam berbisnis, orang Batak cenderung kooperatif pada orang sekerabat atau "orang dalam" tapi cenderung eksploitatif pada orang asing atau "orang luar".
Etika Kapitalisme Batak itulah penjelasan mengapa pemilik rumah makan di lingkar Danau Toba cenderung melambungkan harga, sebab konsumen dianggap sebagai sileban, orang asing atau orang luar.
Wisatawan itu Hulahula
Etika "Kapitalisme Batak" yang menoleransi eksploitasi terhadap sileban atau orang asing adalah kabar buruk untuk upaya pengembangan Danau Toba sebagai destinasi wisata kelas dunia.Â
Pasalnya, dalam konteks struktur dan kultur Dalihan Na Tolu orang Batak, wisatawan (domestik dan mancanegara) adalah orang asing yang sah-sah saja dieksplotasi demi keuntungan usaha.
Persoalannya di sini wisatawan bukanlah gejala parsahalian. Wisatawan adalah kategori sosial yang bersifat kontinu, datang silih berganti, dan saling terhubung dan berbagi kesan dan pesan satu sama lain, sekarang terutama lewat media sosial.
Kesan buruk akan menghambat kedatangan wisatawan berikutnya, sebaliknya kesan baik akan menarik wisatawan berikutnya. Kasus Elios dan Malau adalah kesan buruk yang dapat menghambat kedatangan wisatawan ke lingkar Danau Toba.Â
Wisatawan mengharapkan pengalaman indah, bukan yang buruk, semisal ditipu atau diperas rumah makan.Â